Thursday, March 20, 2014

Si "Einstein"

Beberapa hari terakhir ini, saya sedang giat-giatnya membaca salah satu karya masterpiece Walter Isaacson yang berjudul "Einstein". Karya ini sendiri merupakan sebuah biografi hidup dari seorang tokoh yang dianggap genius dan spektakuler di jamannya. Namun sebenarnya ketertarikan saya bukan karena kejeniusannya tersebut, melainkan hal-hal lainnya yang jarang sekali diungkapkan di media manapun. Karya ini sendiri merupakan karya lain yang cukup mendapat reaksi positif dari berbagai pembaca di seluruh dunia. Karya Isaacson sebelumnya adalah biografi "Steve Jobs".

Memang, awalnya ketertarikan saya dengan "Einstein" karena setiap pulang ke rumah selalu merasa sepi, dan butuh hiburan, setelah merasa buat apa sebenarnya semua kesibukan ini semua untuk saya, toh setelah sampai di rumah kembali hampa, apakah hanya ingin menjadi boneka kehidupan? hidup itu untuk dimaknai, bukan hanya untuk dijalani apa adanya. Peristiwa kehampaan inilah yang kemudian menggiring saya untuk membeli buku tersebut, buku yang tidak begitu berat, namun kaya akan makna.

"Einstein" sendiri bercerita perihal kehidupan penemu ulung tersebut, sejak dari beliau kecil hingga meninggal dunia. Sumbernya pun beragam, tidak hanya satu sumber sang penulis menuliskan cerita ini. Yang paling menarik adalah sebagian besar cerita dikumpulkan dari hasil surat-menyurat Einstein kepada keluarga, kekasih, teman, bahkan, para professornya. Suatu kegiatan yang mungkin sudah hampir mustahil ditemui di era digital saat ini.

Ternyata setelah dibaca, meskipun belum tamat, banyak sisi-sisi manusiawi beliau yang jarang sekali orang tahu, karena orang hanya mengenal beliau sebagai simbol kejeniusan. Padahal, banyak juga cerita kehidupannya yang mirip sekali dengan cerita hidup kebanyakan orang.

Itu dia sebenarnya yang ingin saya cari dari buku ini, sisi manusiawi. Contohnya adalah bagaimana perasaan beliau terhadap kekasihnya, bagaimana gairah dirinya terhadap ilmu pengetahuan, dan bahkan perasaan beliau tentang kehidupan itu sendiri. Semua tercermin dalam karya ini.

Meskipun belum tamat membacanya, ada satu kisah yang menarik yang saya baca, yaitu bagaimana beliau setelah lulus kuliah kesulitan mendapatkan pekerjaan dan beliau terlunta-lunta dengan mengharapkan balasan surat dari para Professornya. Bahkan beliau rela bekerja serendah-rendahnya hanya saja untuk menikahi dan menghidupi kekasih hatinya yang tidak cantik, pincang, dan kutu buku karena kekasihnya tersebut telah mengandung anak dari dia.  Belum lagi cerita mengenai betapa tingginya penghargaannya terhadap musik khususnya Mozart dan Bach yang menurut beliau seperti sesuatu yang sudah ada di alam dan tinggal dipetik, tidak seperti karya Bethoveen yang terlalu artificial.

Kisah Einstein membuat saya berpikir (karena tuhan suka dengan orang yang berfikir), bahwa sebenarnya manusia itu diberikan kesempatan yang sama, tetapi hanya kemudian bagaimana jalan yang akan dipilih dan mencoba memaknai hiduplah yang kemudian akan menjadi berbeda.

Kisah "Einstein" bisa menjadi pelipur lara dan juga bahan inspirasi seseorang untuk terus maju dan tentu saja, melanjutkan cita-cita yang mungkin sudah sempat dikubur yang entah ada dimana.