Tuesday, August 16, 2011

Mastodon Dan Burung Kondor..

Masih dalam suasana mengenang penyair W.S. Rendra, ada dua sajak yang bagus di masukkan juga ke dalam pementasan beliau yaitu mastodon dan burung kondor..jika bisa dibawakan dengan pas dan dihayati dengan mantap sungguh luar biasa kaya sajak ini..

Sajak Burung-burung Kondor
Karya: W.S. Rendra

Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Djogja, 1973
Potret Pembangunan dalam Puisi

Kesaksian Tentang Mastodon-Mastodon
Karya: W.S. Rendra

Pembangunan telah dilangsungkan
Di tanah dan di air sedang berlangsung perkembangan.

Aku memberi kesaksian
bahawa di sini
langit kelabu hambar dari ufuk ke ufuk.
Rembulan muncul pucat
seperti isteri birokrat yang luntur tatariasnya.
Sungai mengandung pengkhianatan
dan samudera diperkosa.
Sumpah serapah keluar dari mulut sopir teksi.
Keluh kesah menjadi handuk bagi buruh dan kuli.

Bila rakyat bicara memang bising dan repot.
Tetapi bila rakyat bisu itu kuburan.
Lalu apa gunanya membina ketenangan kuburan,
bila ketenangan hanya bererti kesesakan peredaran darah?

Aku memberi kesaksian
bahawa negara ini adalah negara pejabat dan pegawai.
Kebudayaan priyai tempoh dulu
diberi tambal sulam
dengan gombal-gombal khayalan baru.
Bagaikan para pengeran di zaman pra ilmiah
para pengeran baru bersekutu dengan cukong asing,
memonopoli alat berproduksi dan kekuatan distribusi.
Para pedagang peribumi hanya bisa menjual jasa
atau menjadi tukang kelentong.
Boleh menjadi kaya tetapi hanya mengambang kedudukannya.

Tirani dan pemusatan
adalah naluri dari kebudayaan pejabat dan pegawai.
Bagaikan gajah para pejabat
menguasai semua rumput dan daun-daunan.
Kekukuhan dibina
tetapi mobiliti masyarakat dikorbankan.
Hidup menjadi lesu dan sesak.
Ketenangan dijaga
tetapi rakyat tegang dan terkekang.
Hidup menjadi muram, tanpa pilihan.

Aku memberi kesaksian
bahawa di dalam peradaban pejabat dan pegawai
falsafah mati
dan penghayatan kenyataan dikekang
diganti dengan bimbingan dan pedoman rasmi.
Kepatuhan diutamakan,
kesangsian dianggap derhaka
dan pertanyaan dianggap pembangkangan.
Pembodohan bangsa akan terjadi
kerana nalar dicurigai dan diawasi.

Aku memberi kesaksian, bahawa:

Gajah-gajah telah menulis hukum dengan tinta yang munafik.
Mereka mengangkang dengan angker dan perkasa
tanpa bisa diperiksa,
tanpa bisa dituntut,
tanpa bisa diadili secara terbuka.

Aku bertanya:
Apakah ini gambaran kesejahteraan
dari bangsa yang mulia?

Aku memberi kesaksian
bahawa gajah-gajah bisa menjelma menjadi mastodon-mastodon.
Mereka menjadi setinggi menara dan sebesar berhala.
Mastodon-mastodon yang masuk ke laut dan menghabiskan semua ikan.
Mastodon yang melahap simen dan kayu lapis.
Melahap tiang-tiang listrik dan filem-filem import.
Melahap minyak kasar, cengkih, kopi, dan bawang putih.
Mastodon-mastodon ini akan selalu mebengkak
selalu lapar
selalu merasa terancam
selalu menunjukkan wajah yang angker
dan menghentak-hentakkan kaki ke bumi.

Maka mastodon yang satu
akan melutut kepada mastodon-mastodon yang lain.
Matahari menyala bagaikan berdendam.
Bumi kering.
Alam protes dengan kemarau yang panjang.
Mastodon-mastodon pun lapar
dan mereka akan saling mencurigai.
Lalu mastodon-mastodon akan menyerbu kota.
Mereka akan menghabiskan semua beras dan jagung.
Mereka akan makan anak-anak kecil.
Mereka akan makan gedung dan jambatan.

Toko-toko, pasar-pasar, sekolah-sekolah
masjid-masjid, gereja-gereja
semuanya akan hancur
Dan mastodon-mastodon masih tetap merasa lapar
selalu was-was.
Tak bisa tidur.
Yang satu mengawasi yang lain.

Aku memberi kesaksian
seandainya kiamat terjadi di negeri ini
maka itu akan terjadi tidak dengan petanda bangkitnya kaum pengemis
atau munculnya bencana alam
tetapi akan terjadi dengan petanda
saling bertempurnya mastodon-mastodon.

Djogja, 1973

Monday, August 15, 2011

Sajak-sajak anak muda..

Waktu menonton pertunjukan Mastodon dan Burung Kondor, suatu masterpiece karya W.S Rendra yang pernah dipentaskan di tahun 1973, ternyata di luar gedung teater terdapat juga pembacaan sajak-sajak beliau secara bebas..ada satu sajak yang pada saat itu saya kebetulan mendengar, dan lumayan terbawa suasana..

Sajak-sajak anak muda
Karya: W.S. Rendra

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja ?
inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi !
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini ?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

Thursday, August 4, 2011

"Paket" Pertukaran Pengungsi..

Pada tanggal 25 Juli 2011 yang lalu, pemerintah Australia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Imigrasi, Chris Bowen dan Pemerintah Malaysia yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri Hishammuddin Hussein telah menyepakati suatu “paket” kesepakatan pertukaran pengungsi (refugee swap deal) yang telah ditandatangani di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam “paket” ini, disepakati bahwa Malaysia akan menerima kembali 800 pencari suaka yang memasuki wilayah perairan Australia secara illegal menggunakan kapal boat, dan sebaliknya, Australia akan menerima sebanyak 4.000 orang pengungsi yang saat ini terdapat di Malaysia untuk ditempatkan di Australia secara bertahap selama 4 tahun. Dalam “paket” ini juga dikatakan bahwa mereka yang dikirim kembali ke Malaysia akan mendapatkan hak untuk bekerja serta hak atas kesehatan dan pendidikan. Pengiriman kembali ini mulai berlaku terhadap pencari suaka sejak kesepakatan tersebut ditandatangani.

Sebagai hasil dari kesepakatan ini, beberapa hari yang lalu, Australia kedatangan 54 orang pencari suaka, dan melalui mekanisme ini, maka semua pencari suaka tersebut akan mulai untuk dikirimkan kembali ke Malaysia dengan menggunakan pesawat terbang dan akan berdiri di antrian paling belakang dalam proses penentuan status pengungsi di Malaysia. Pihak Australia telah berniat akan membuat film pendek mengenai hal ini dan akan di tampilkan di situs youtube sebagai salah satu cara untuk memerangi penyelundupan manusia di kawasan ini.

Persoalan pencari suaka dengan tujuan akhir Australia bukanlah fenomena baru di kawasan ini. UNHCR Indonesia mencatat, tahun lalu ada sekitar lebih dari 3.000 orang pencari suaka yang mendaftarkan diri untuk kemudian dicarikan solusi terbaiknya. Namun demikian, memang tidak semua mereka adalah murni orang-orang yang mencari pengungsian karena alasan dalam konvensi pengungsi, yaitu dikarenakan adanya ketakutan yang sangat akan persekusi atas alasan race, religion, nationality, membership in particular social group, or political opinion. Hampir sebagian besar merupakan mereka yang ingin mencari penghidupan yang lebih layak atau bisa dikatakan sebagai economic migrant. Hal inilah yang kemudian menjadi sulit dibedakan pada saat ternyata alasan mereka meninggalkan Negara asalnya adalah karena alasan ekonomi tersebut bercampur dengan alasan yang disebutkan di dalam konvensi. Indonesia sendiri sebagai Negara yang bertetangga dengan Australia merupakan Negara favorit tempat transit bagi para pencari suaka ini, karena untuk mereka bisa menuju Australia, mau tidak mau mereka harus melewati Indonesia yang notabene wilayahnya 70% adalah lautan.

Isu pencari suaka yang juga isu keimigrasian di Australia ini sendiri merupakan isu politik yang sangat “seksi”. Hal ini terkait dengan pemilihan pemerintahan di negera tersebut. Seorang kandidat akan sangat dilihat pemikirannya mengenai isu imigrasi sebelum untuk kemudian dipilih oleh warganya. Dari sekian banyak perdana menteri, mantan perdana menteri Kevin Rudd lah salah satu yang dinilai memiliki kebijakan imigrasi yang sangat lunak.

Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia merupakan Negara yang belum melakukan ratifikasi terhadap konvensi pengungsi. Perihal isu kepengungsian selama ini dihadapi dengan aturan dari keimigrasian, dan terkesan tidak mau tahu dengan isu lainnya. Mereka yang masuk ke Indonesia tanpa dokumen yang sah dianggap sebagai illegal imigran. Namun demikian hal ini dikecualikan dengan mereka yang memiliki attestation letter dari UNHCR. Mereka tersebut tidak akan dideportasi oleh pihak imigrasi karena aturan imigrasi kita menghormati prinsip non-refoulement yang menyatakan bahwa tidak satupun pencari suaka ataupun pengungsi yang dapat dikembalikan ke Negara dimana dia merasa dirinya terancam akan adanya persekusi. Indonesia terkesan lepas tangan. Bahkan di berbagai kasus, seperti di kasus Oceanic Viking, pemerintah Indonesia seringkali mengharapkan UNHCR secepatnya menempatkan mereka ke Negara ketiga, yang mana apabila dianalisa, hal ini sungguh tidak mengungtungkan bagi Indonesia sendiri karena nantinya akan malah menjadi faktor penarik bagi mereka yang ingin ke Negara tujuan karena mereka menganggap bahwa proses ini sangat cepat dibandingkan dengan yang berada di negara lain seperti halnya Malaysia.

Dalam kasus perjanjian di atas, banyak kalangan seperti aktivis HAM menganggap bahwa hal ini tidak menyelesaikan masalah. Bagaimana tidak, proses penentuan pengungsi yang seharusnya dilakukan oleh Australia justru di lalaikan oleh mereka untuk kemudian dilakukan oleh negara lain. Selain itu, dipilihnya Malaysia dalam perjanjian ini justru sangat ditentang oleh para aktivis ini. Karena selain Malaysia bukanlah negara peratifikasi konvensi pengungsi layaknya Indonesia, mereka juga dalam hal perlakukan terhadap para imigran, terlebih lagi terhadap para pencari suaka dan pengungsi sangat tidak bersahabat. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya penolakan yang dilakukan oleh para warga asli yang ada di sana. Selain itu, menurut sebagian pengungsi, kesepakatan tersebut tidak akan menghentikan laju penyelundupan orang ilegal ke dalam Australia dengan menggunakan boat. Mereka menganggapnya hal ini tidak adil, karena bagaimana mungkin mereka yang sanggup membayar kepada para penyelundup untuk menaiki boat akan mendapatkan hak untuk bekerja, kesehatan, dan juga pendidikan yang mana mereka tidak dapatkan itu karena mereka secara tertib mengantri dan menunggu di Malaysia tanpa bepergian ke Australia. Hal ini sangat merugikan. Dan Indonesia sebagai negara yang seringkali di lewati harus lagi-lagi bersabar dan waspada karena hal ini akan meningkatkan volume penyelundupan orang via boat ke Australia dengan melewati perairan kita.

Usaha untuk menanggulangi ini sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Bali process merupakan salah satu forum yang sudah sejak dari awal 2000-an digerakkan dengan mempertemukan negara asal, negara transit, dan juga negara tujuan untuk bersama-sama membahas mengenai persoalan ini. Bahkan belakangan ini, pihak-pihak seperti IOM dan UNHCR juga telah diundang untuk didengar pendapatnya disamping beberapa negara observer lainnya. Telah banyak pula kesepakatan yang dihasilkan, tetapi hingga kini tidak mampu untuk mengurangi tindak "bisnis" penyelundupan ini. Semoga persoalan ini dalam waktu dekat akan bisa terselesaikan, dan persoalan tragedi kemanusiaan ini tidak diselesaikan dengan menciptakan "tragedi" kemanusian lainnya.

Akbarecht

The free columnist..

Okay, setelah sebelumnya memakai nama the fifth columnist, kali ini saya kembali mengganti nama menjadi the free columnist..semoga ada inspirasi baru lagi..

Terima kasih,

Akbarecht