Saturday, August 31, 2013

Kontribusi?



Ini merupakan tulisan saya setelah beberapa saat vakum menulis. Entah kenapa belakangan ini diri ini terlalu tidak produktif, banyak pikiran-pikiran yang tidak seharusnya dipikirkan dengan proporsi yang cukup besar sehingga menguras energi padahal masih banyak hal lain yang memerlukan perhatian lebih. Baik, tidak untuk bercerita lebih jauh tentang konflik batin saya, mari kita mulai saja tulisan perdana setelah lama ini. Tulisan kali ini mengangkat tema tentang “kontribusi”. 

Kenapa kontribusi? Karena “kontribusi” ini memiliki banyak makna dalam penerapannya. Seseorang bisa menggunakan kata ini dalam berbagai bidang. Seseorang yang bermain sepakbola misalnya bisa saja mengecap bahwa dirinya sudah cukup berkontribusi dengan mencetak satu gol. Sedangkan di sisi lain, pemain lainnya menganggap dirinya telah berkontribusi dengan memberikan 3 buah assist dalam pertandingan tersebut. Sungguh kata “kontribusi” ini memiliki banyak makna tergantung siapa yang memaknainya. Sungguh pikiran subjektif. Demikian juga dengan penulis memaknai kata “kontribusi” ini tidak terlepas dari pikiran subjektif penulis.

Sejak dahulu sejak jaman kuliah, penulis selalu berpendapat bahwa “kontribusi” adalah sesuatu yang seharusnya tidak dirasakan oleh suatu entitas kecil saja, melainkan entitas yang lebih besar. Dalam pikiran ini, penulis menganggap bahwa kontribusi sejatinya dirasakan oleh masyarakat sebagai entitas yang lebih besar, bukan hanya diri pribadi ataupun segilintir orang atau perusahaan. Jika meminjam istilah seorang tokoh, saya lupa jika bukan Obama, “for the greater good!”. Hal itulah kira-kira yang mendasari penulis dalam kesehariannya, bahkan dalam memilih suatu pekerjaan. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa pikiran ini merupakan suatu denial atas kondisi yang dialami oleh penulis yang tidak mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang cukup memuaskan. Penulis tidak menyalahkan karena penulis pernah memiliki pikiran yang sama terhadap suatu kumpulan orang yang menamakan dirinya sebagai “komunitas anti kemapanan” atau “gerakan anti kemapanan” dan sebagainya. Dalam pandangan penulis, hal tersebut bisa saja karena memang orang-orang tersebut mengalami suatu denial terhadap kondisi hidupnya yang tidak bisa beranjak menuju tahap mapan. Dan penulis akan melakukan revisi pemikiran seandainya gerakan anti kemapanan tersebut digandrungi oleh orang-orang yang benar-benar mapan.

Kembali ke persoalan kontribusi dan memilih pekerjaan, akhirnya memang diri penulis tidak bisa terlepas atas definisi “kontribusi” yang penulis maknai. Beberapa contoh yang penulis lakukan adalah dengan melepas berbagai kesempatan yang mungkin orang berpikir sungguh sayang untuk dilepaskan. Beruntung penulis memiliki orang-orang yang tangguh dan percaya atas apa yang ingin dilakukan oleh penulis dalam hidupnya.
Seperti saja contohnya adalah penulis meninggalkan suatu posisi yang jika trendnya saat ini dikatakan sebagai “comfort zone”. Penulis beranggapan bahwa jika tetap berada di zona tersebut, maka penulis tidak akan berkembang, dan justru mematikan potensi diri penulis meskipun bayaran cukup memuaskan. Namun karena memang ada sesuatu yang penulis anggap masih kurang bermakna dalam penerapan “kontribusi” ini maka penulis pergi meninggalkannya.

Begitu juga belakangan ini, saat penulis ditawari suatu pekerjaan dengan bayaran yang cukup memuaskan, namun penulis justru merekomendasikan ke teman penulis karena memang penulis rasa akan mematikan potensi penulis. Memang semua itu subjektif. Namun demikian, penulis melakukan semua itu tidak tanpa alasan. Mungkin seseorang yang mengerti teori behavioral dan mengikuti kegiatan penulis dari sejak kecil sampai pergulatan pikiran di bangku kuliah sajalah yang akan memiliki analisa yang mendekati behavior penulis. Dikatakan mendekati karena yang mengetahui sempurna dibalik itu semua hanya penulis dan tuhan.

Kembali kepada perihal kontribusi seharusnya dirasakan oleh masyarakat, mungkin sebagian bertanya kembali, masyarakat yang mana? keseluruhan ataukah sebagian golongan masyarakat? Dalam menjawab ini, penulis memiliki strategi yang cukup baik. Penulis selalu beranggapan bahwa tidak apalah hanya segolongan masyarakat saja terlebih dahulu, namun kemudian itu semua harus dirasakan oleh seluruh masyarakat. Mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan yang lain, tetapi sebenarnya ada bedanya. Pengkonsepan “for the greater good”, ada tujuan akhirnya yang membedakannya. Sebagian orang hanya selesai pada fase “segolongan” bahkan “dirinya”, padahal ada akhirnya, yaitu “keseluruhan”. 


...........................