Thursday, July 10, 2014

Pemilihan Presiden dan Games Kontemporer (Studi Kasus "The Political Machine" dan "Fable 3")

Pemilihan umum (Pemilu) telah berhasil kita lewati dua-duanya dengan aman dan tertib, yaitu yang pertama adalah pemilihan anggota legislatif, dan yang kedua adalah pemilihan penjalan kekuasaan eksekutif. Pemilu ini sekarang memasuki tahap penetapan akhir, dan apabila telah selesai, akan memasuki tahap pelaksanaan janji-janji kampanye atau kontrak sosial (du contrat social).

Terkait dengan tema pemilu presiden ini, saya teringat oleh dua games yang pernah saya mainkan beberapa tahun lalu. Yang pertama adalah "The Political Machine" buatan Amerika yang saya mainkan pada saat dulu di bangku kuliah Fakultas Hukum dan juga "Fable 3" karya Lionhead Studios. Kedua games ini bisa dikatakan cukup membuat mengerti saya bagaimana proses demokrasi pemilihan ini berjalan.

Terkait dengan "The Political Machine" ini, meski edisi terakhir adalah 2012, telah saya mainkan jauh sebelum tahun tersebut. Dalam game itu kita diharuskan memilih antara kubu republik (merah) ataupun biru (demokrat) dan juga jagoan kita yang mana direpresentasikan oleh tokoh-tokoh elit politik di Amerika yang saat itu sedang tenar-tenarnya seperti Hillary Clinton, Al Gore ataupun Condoleeza Rice. Setelah memilih itu, barulah kemudian the battle begin, dimana terpampang map 51 negara bagian Amerika Serikat dan kita diharuskan memenangkan suara mayoritas, dan artinya kita harus terbang dari satu kota ke kota lainnya. Wilayah yang kita datangi bisa juga didatangi oleh lawan kita yang mana akan mengakibatkan perubahan konstelasi pilihan masyarakat yang berbeda pada saat baru kita saja yang datang ke wilayah tersebut.

Menariknya di dalam game ini adalah, kita diajarkan bagaimana caranya agar suatu wilayah pro dengan kita dengan menarik dukungan sebanyak-banyaknya dari tokoh-tokoh setempat yang terpercaya. Saya pernah memainkannya dan pergi ke suatu kota dan mendapatkan dukungan dari sutradara Steven Spilberg, pindah ke kota lainnya dan mendapatkan dukungan dari tokoh lainnya seperti Gubernur Arnold, dan sebagainya. Di sini kita diajarkan, untuk memperoleh mayoritas suara di suatu tempat, jika bisa kita memegang dukungan dari tokoh yang kredibel dan disegani di wilayah tersebut. Dari kasus pilpres baru-baru ini, saya melihat bagaimana capres no.2 secara baik memainkan permainan ini. Bagaimana dengan lihainya dia dan timnya menarik dukungan dari tokoh-tokoh yang kredibel, sebut saja sutradara, musisi, tokoh profesional, dan lain-lain yang cukup berpengaruh hal mana yang sedikit luput dimainkan oleh capres no.1. Inilah yang menurut saya akhirnya memberi pengaruh kepada para pemilih pemula atau yang masih ragu-ragu untuk ikut memilih capres no.2.

Sekarang kita bahas game yang kedua, yaitu "Fable 3". Fable 3 ini sendiri merupakan kelanjutan dari game serupa yaitu Fable dan Fable 2, dimana fable 1 bercerita tentang bagaimana seorang anak yang desanya diserang oleh seorang penyihir jahat akhirnya mengambil jalan menjadi seorang pahlawan dan berperang melawan ketidakadilan. Yang berbeda dari seri Fable pertama dan kedua ini adalah, fable 3 bercerita lebih politis dan ceritanya menurut saya sedikit kurang dapat saya prediksi ending-nya akan seperti itu. Fable 3 bercerita tentang seorang anak raja yang memiliki seorang abang yang di awalnya di citrakan sebagai antagonis. Pada saat raja mangkat, maka sang abang naik menjadi raja dan mulai bersikap seolah-olah sebagai seorang diktator. Teman sang adik yang merupakan cinta sejatinya pun akhirnya di hukum mati pada saat akhirnya tertangkap karena memimpin pemberontakan yang gagal kepada sang abang yang diktator. Sang adik disuruh memilih antara mengorbankan cintanya kepada teman wanitanya, ataukah cinta kepada rakyatnya. Dalam cerita tersebut, saya sebagai pemain memilih mengorbankan cinta kepada teman wanitanya yang akhirnya dieksekusi di depan sang adik.

Cerita berlanjut kemudian dengan adanya usaha pelarian adiknya secara diam-diam dari kerajaan dan menemukan kenyataan bahwa dia memiliki kekuatan turunan dari buyutnya yang bisa menguasai magic sebagaimana diceritakan di Fable yang pertama. Akhirnya dia pun melarikan diri dari kerajaan bersama penasehat terpercayanya, dan bertemu dengan masyarakatnya. Di sini kemudian sang penasehat mengatakan bahwa untuk mengalahkan kediktatoran sang abang, maka sang adik yang cinta dengan rakyatnya tidak bisa hanya seorang diri melawan sang abang. Akhirnya secara perlahan-lahan, sang adik menggalang kekuatan masyarakat (people power) dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Di tiap wilayah yang ditolongnya, dia bertemu dengan tokoh setempat yang akhirnya diakhiri dengan penandatanganan kontrak sosial. Apabila nanti sang adik berhasil menggantikan sang raja, maka sang adik bersedia memberikan atau melaksanakan apa-apa yang dimintakan oleh masyarakat di wilayah tersebut. Satu demi satu diperoleh dukungan, dan satu persatu juga kontrak sosial di tandatangani.

Akhirnya, saat yang menentukan tiba, dengan dibantu oleh seluruh masyarakat, penyerbuan ke kerajaan dilaksanakan. Banyak korban dari kedua belah pihak. Sang adik berhasil menerobos ke ruang sang abang dan siap satu lawan satu. Setelah terdesak dan siap untuk mengeksekusi, disinilah kemudian game ini jadi menarik bagi seseorang yang kelak bercita-cita menjadi pemimpin. Banyak pilihan-pilihan sulit yang akan menguji kapasitas kita sebagai pemimpin. Sang adik diceritakan oleh sang abang mengapa selama ini dia terkesan sebagai seorang yang diktator, yang mana ternyata alasannya adalah untuk melindungi masyarakatnya. Sang abang melihat ke depan yang mana dibisikkan oleh seorang peramal bahwa akan datangnya suatu masa kelaparan yang sangat besar yang mana oleh karena itu kerajaan sebagai pelindung rakyat harus mengambil langkah-langkah penghematan, peningkatan pajak, dan lain-lain yang tidak disukai rakyatnya sebagai persiapan untuk menghadapi bencana tersebut. Dan sang abang berhasil meningkatkan kekayaan kerajaan berkali-kali lipat. Itulah sebabnya banyak tuntutan masyarakat tidak dipenuhinya.

Mendengar ini, sang adik diberi dua pilihan, apakah langsung eksekusi ataukah dibawa ke pengadilan terlebih dahulu. Dalam game yang saya mainkan sebelumnya, saya memilih untuk dibawa ke pengadilan. Kemudian, di pengadilan dimana dihadiri masyarakat, kembali sang raja terpilih harus memilih lagi, apakah dihukum mati sang abang atas kediktatorannya yang mengakibatkan beberapa orang meninggal ataukah di buang saja dari negara dia. Konsekuensinya ada dua, jika dieksekusi memberikan kepercayaan lebih masyarakat atas sang adik, jika dibuang maka masyarakat mulai mencibir bahwa sang adik tidak lebih sama saja, tidak berani menindak tegas sang diktator. Karena saya sudah diceritakan seperti itu oleh sang abang, akhirnya saya memilih untuk membuang sang abang. Tentu saja, tindakan yang saya ambil akan mengakibatkan kekurangpercayaan sebagian masyarakat. Itu sudah konsekuensi yang diambil.

Akhirnya setelah selesai pengadilan, sang peramal mengatakan bahwa sang adik punya waktu hanya 365 hari untuk mempersiapkan bencana kepalaran yang maha dahsyat yang diceritakan tersebut. Di hari-hari menuju hari H tersebut, sang adik dihadapkan pilihan untuk mengabulkan janji sebagaimana kontrak sosial dibuat kepada masyarakat ataukah tidak dikabulkan dan memperkuat ketahanan pangan dan finasial kerajaan yang mana dibutuhkan pada saat bencana. Karena saya orangnya sedikit gamble dan ingin melihat akhir dari game ini dimana semua permintaan masyarakat dipenuhi saking cintanya dengan masyarakat, maka saya setujui semua permintaan tanpa terkecuali dan berakibat minusnya finansial kerajaan. Dan di akhir game ini, masyarakat yang saya cintai pada tewas, dan hanya tinggal tersisa hitungan jari. Sungguh pilihan yang kurang bijak.

Moral dari game Fable 3 ini mengapa saya ceritakan secara panjang lebar sebenarnya ingin menyampaikan bahwa, semua janji kampanye yang diberikan dan disanggupi oleh capres-capres yang maju kemarin seharusnya disikapi dengan bijak. Bagaimana efeknya, dan apakah urgent untuk diperjuangkan saat ini. Kebutuhan masyarakat itu akan selalu tidak terbatas. Pada saat kita sudah punya sesuatu, maka akan ada sesuatu lainnya yang kita inginkan. Sebagai seorang pemimpin yang terpilih nantinya juga harus bijak. Tidak semua janji mungkin akan terpenuhi, harus ada prioritas. Bagaimana seandainya kita juga mengalami bencana maha dahsyat juga nantinya dan kita terlalu menghambur-hamburkan uang negara untuk sesuatu yang belum menjadi prioritas.Pada akhirnya, game ini mungkin saja juga ingin merasuki pikiran anak muda yang bermain game ini dengan pikiran liberal yang mengatakan bahwa program yang pro rakyat dalam artian banyaknya subsidi yang diberikan untuk masyarakat kelak malah akan menjadi bumerang bagi kerajaan (negara) kita sendiri. Seperti subsidi BBM, subsidi KIP, KIS, itu akan membuat anggaran menjadi tidak sehat. Sama seperti halnya waktu Presiden Barack Obama dengan program "Obama Care" nya yang mana mendapatkan pertentangan dari anggota parlemen. karena mungkin saja memang anggaran mereka pada saat itu tidak sehat. banyak hutang dimana-mana. Sedangkan Obama sebagai pemimpin yang mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang menepati janjinya tetap mau menjalankan janji kampanyenya (kontrak sosialnya). Alhasil pada saat terjadi keuangan Amerika kolaps dan mengharuskan banyak PNSmereka dirumahkan, pada saat terjadi badai Katrina, banyak bantuan yang tidak ada dan datang pada waktunya.

Ini menjadi bahan pikiran saja. Memang pilpres sudah lewat, tetapi mau mengingatkan saja, jika nantinya ada janji kampanye yang belum terpenuhi bisa saja sang pemimpin lebih tahu apa yang dibutuhkan warganya saat ini yang mana tidak diketahui oleh si warga. Dan sebagai masyarakat, khususnya mereka yang secara tidak sengaja membaca ini menjadi paham juga betapa rumitnya nantinya menjadi seorang pemimpin hasil pilihan rakyat dengan "du contrat social"-nya.

Akbarecht, 10 Juli 2014     


Tuesday, May 13, 2014

Lelah dengan Politik

Beberapa bulan belakangan ini, rakyat Indonesia disibukkan dengan event 5 tahunan dalam mengaktualisasikan hak mereka sebagai rakyat, yaitu pemilihan umum, memilih wakil mereka yang akan duduk di pemerintahan baik itu di lembaga perwakilan rakyat maupun nantinya lembaga kepresidenan. Pemilihan umum ini dianggap sesuatu yang baik karena nanti akan membawa ke mana arah perubahan bangsa, apakah menjadi semakin baik ataukah justru malah sebaliknya. Namun demikian, proses menuju perubahan tersebut terkadang justru dilakukan dengan buruk.

Saya sebenarnya sedikit terganggu dengan berbagai kampanye-kampanye miring yang menyudutkan calon tertentu. Sedikit muak pada saat semua teman-teman pendukung suatu partai tiba-tiba merasa paling kenal dengan lawannya dan kemudian mati-matian menghina dan menjatuhkannya. Memang dalam politik itu hal yang wajar, tetapi mereka semua adalah orang beragama. Agama tidak mengajarkan kita untuk menghina atau membuat seseorang menjadi buruk. Agama mengajarkan kita kebaikan. Lantas mengapa seakan-akan agama memperbolehkan mereka untuk menghujat, menghina dan menjatuhkan? Sehingga saya terkadang berpikir, jangan-jangan kita sudah mengakui secara tidak sadar bahwa kita ini kaum sekuler, dimana urusan pemerintahan dan agama dipisahkan. Untuk alasan politik semua dibenarkan. Saya tidak tahu, mungkin mereka sajalah yang dapat menjawabnya.

Kemudian berlanjut ke pemilihan presiden. Fenomena ini kembali muncul, menjelek-jelekkan suatu calon dan mendukung calonnya sendiri meskipun dicurigai calon tersebut melakukan kejahatan di masa lalunya. Munafik. Ya meskipun tidak semua pendukung tersebut setuju dengan calon yang diajukan tetapi mereka lebih memilih sebagai silent majority. Mengapa mereka tidak menggoyahkan dan mempertanyakan partai yang mereka dukung mengapa mengambil kebijakan demikian? apakah mereka berusaha menutup mata? munafik

Politik bisa membuat orang baik menjadi jahat, bisa membuat orang jahat menjadi seakan baik, dan bahkan membuat orang jahat semakin jahat.

Saya sih muak. Hal tersebutlah salah satu yang kemudian membuat saya tidak menggunakan hak suara saya di pemilihan wakil di lembaga perwakilan rakyat kemarin. Tidak ada gunanya. Namun demikian di pemilihan presiden Insyaallah akan menggunakan pilihan kepada calon yang berkategori "less evil" dari yang lainnya. Semoga dimudahkan.



Friday, March 21, 2014

Jakarta Baru, mungkinkah?

Tulisan ini merupakan hasil perenungan saya saat sedang naik angkot ataupun naik kereta dan yang terbaru pada saat mengikuti kegiatan ngarung Ciliwung bersama teman-teman komunitas. Sebuah tulisan yang berawal dari pertanyaan, Jakarta baru, mungkinkah?

Tagline "Jakarta Baru" pertama kali dipopulerkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta oleh salah satu calon gubernur pada saat itu, Bapak Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama. Dengan slogan ini, beliau berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat Jakarta untuk memimpin DKI Jakarta selama 5 tahun ke depan. Namun seiring dengan waktu dan naik turunnya dinamika politik, Bapak Joko Widodo berencana maju ke pemilihan presiden. Lantas warga DKI yang budiman serentak berkata, Slogan "Jakarta Baru", palsu.

Saya tidak setuju!

Slogan menurut saya untuk kasus Bapak Jokowi, bukanlah kata-kata magis yang akan bergerak sendiri dan dalam satu malam seperti cerita tangkuban perahu: jadi. Melainkan butuh usaha kolektif yang tidak mudah dan membutuhkan effort dari warganya sendiri. Dengan kata lain, slogan untuk menciptakan optimisme warga. Optimisme warga perlu sebagai modal politik awal dalam melakukan perubahan. Sebagai contoh, misalkan saja pada saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta modal politik beliau di kisaran 75%. Tiap kebijakan yang diambil bisa meningkatkan modal politik ataupun justru menurunkan modal politik beliau. Pada saat modal politik menjadi 30%, akan sulit bagi beliau untuk melakukan perubahan, begitu pula sebaliknya pada saat modal politik mencapai 90% akan sangat mudah dilakukan perubahan.

Dalam kasus Jokowi di Jakarta, diprediksi modal politik beliau terus mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan beliau berusaha "merubah" Jakarta lebih baru dan tidak dengan penyelesaian konvensional yang diambil gubernur sebelumnya. Tetapi fenomena yang menarik adalah, mengapa turun? bukankah warga DKI yang menginginkan "Jakarta Baru" waktu pemilu dulu? hal tersebut dikarenakan kesalahan ataupun mental warga DKI sendiri yang anti perubahan. Bagaimana tidak, warga DKI yang memilih "Jakarta Baru", bebas kemacetan, ternyata justru orang yang paling utama melanggar lalu lintas dan menimbulkan kemacetan. Warga DKI yang menginginkan "Jakarta Baru" bebas banjir, justru mereka paling giat menyebabkan banjir. Saya berbicara mengenai warga pinggiran sungai di Jakarta. Pada waktu lalu mengarungi Ciliwung, ternyata mereka masih melempar sekantong penuh sampah ke sungai. Padahal saya tahu, mereka inginkan perubahan.

Hal ini lah yang kemudian saya mengatakan, ini bukan salah Jokowi, Jokowi hanyalah membangkitkan optimisme warga dan sebagai imbalannya mendapatkan modal politik yang besar. Yang salah kemudian adalah warga sendiri yang tidak mau berubah ataupun sulit menerima perubahan. Saya tidak yakin Jakarta jika dipimpin oleh partai putih pun akan mampu mengurai permasalahan Jakarta yang semraut ini. Merubah Jakarta, maka merubah perilaku warganya. Jakarta Baru = Warga Jakarta Baru (pemikiran, taat hukum, perilaku, dan lain sebagainya)


-ditulis bukan untuk dukungan Jokowi, karena saya masih golput-

Thursday, March 20, 2014

Gejala Over Nationalism..

Pertanyaan mendasar dari tulisan saya kali ini adalah Over Nationalism, is it good? my answer: I don't think so..

Nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu sikap atau paham yang lebih bertujuan kepada menimbulkan identitas bersama yang kuat, yang karena scope-nya adalah nation, maka hal tersebut lebih merujuk kepada tujuan akhir menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara.

Nasionalisme itu sebenarnya baik, apalagi jika hal tersebut bertujuan untuk menggerakkan pembangunan nasional, dimana warga/masyarakat dapat dengan mudah digerakkan hanya dengan semangat nasionalis ini. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah, apabila dilakukan secara berlebihan (over), apakah masih bisa dikatakan sebagai baik?

Contohnya adalah penolakan mati-matian terhadap adanya orang asing di negara sendiri. Berpikir bahwa orang asing tersebut akan memanfaatkan kita dan mengambil keuntungan dari kita. Memang perasaan itu boleh-boleh saja sebagai cara kita untuk waspada, tetapi seharusnya tidak ditunjukkan secara terbuka, secara terang-terangan melalui ekspresi maupun bentuk-bentuk lainnya.

Keberadaan orang asing di negara kita sudah tidak dapat dihindari lagi. Alasan klasiknya adalah hal tersebut karena munculnya perkembangan teknologi, komunikasi dan transportasi. Namun terkadang saya berfikir, bagaimana jika gejala moving/migrasi ini, baik secara legal maupun ilegal, merupakan salah satu cara alam atau bahkan manusia men-shaping dunia itu sendiri. Ingatkah kita bahwa dulu manusia tanpa adanya sekat-sekat negara melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya? Mungkin saja hal tersebut sekarang ini merupakan arus perpindahan kedua yang tidak kita sadari. Tetapi karena sekarang sudah ada sekat-sekat negara, makanya kemudian seseorang dianggap legal atau tidak legal berpindahnya.

Hal lainnya adalah, masih terkait dengan judul di atas, pada kasus penolakan kita terhadap orang asing, mengapa kita jika berfikir mereka ingin memanfaatkan kita ataupun mencari keuntungan dari kita, tidak kita manfaatkan kembali, kita cari keuntungan kembali? justru itu lebih win-win solution. Toh perpindahan ini tidak dapat dihindari karena merupakan suatu peristiwa yang alami dalam dunia men-shaping dirinya sendiri. Hanya saja kemudian, apakah kita siap? ya harus siap mau tidak mau. Masih banyak orang yang susah cari makan di negeri sendiri. Mengapa tidak meningkatkan diri? ada banyak cara meningkatkan diri. Saya pernah lihat orang-orang dengan keterbatasan diri tetapi mampu berhasil. Tetapi kenapa kita terlalu malas untuk berbuat yang sama? atau sekedar  mencari tahu hal yang sama? itu pertanyaan untuk kita sendiri. Hal-hal ini kemudian justru disalahartikan, orang-orang yang tidak berdaya menggunakan dalih nasionalisme, bahkan orang yang terlalu dekat dengan asing dianggap tidak nasionalis. Dalam hal ini terjadilah kemudian gejala over nationalism yang saya maksud. Gejala yang bermula dari ketidakmampuan diri.

Jepang, negeri yang awalnya introvert terhadap dunia luar kemudian membuka diri, dan apa jadinya setelah itu, mereka menjadi negara maju. China, negara dengan perekonomian dan politik sentralistik pada tahun 70an, berani membuka diri dengan mengadopsi sistem pasar. Hasilnya adalah China sebagai negara maju dan kekuatan ekonomi dunia.

Sekarang kita harus menyerap pengetahuan mereka,karena suatu saat kita yang akan menguasai mereka..jangan jadi bangsa lemah..perdagangan bebas China-Indonesia, jangan takut, anggap sebagai tantangan! Komunitas ASEAN 2015, jangan takut, anggap sebagai tantangan!APEC 2020, jangan takut, anggap sebagai tantangan! ambil ilmu, persiapkan diri, dan kuasai.


-fikiran abstrak-




Si "Einstein"

Beberapa hari terakhir ini, saya sedang giat-giatnya membaca salah satu karya masterpiece Walter Isaacson yang berjudul "Einstein". Karya ini sendiri merupakan sebuah biografi hidup dari seorang tokoh yang dianggap genius dan spektakuler di jamannya. Namun sebenarnya ketertarikan saya bukan karena kejeniusannya tersebut, melainkan hal-hal lainnya yang jarang sekali diungkapkan di media manapun. Karya ini sendiri merupakan karya lain yang cukup mendapat reaksi positif dari berbagai pembaca di seluruh dunia. Karya Isaacson sebelumnya adalah biografi "Steve Jobs".

Memang, awalnya ketertarikan saya dengan "Einstein" karena setiap pulang ke rumah selalu merasa sepi, dan butuh hiburan, setelah merasa buat apa sebenarnya semua kesibukan ini semua untuk saya, toh setelah sampai di rumah kembali hampa, apakah hanya ingin menjadi boneka kehidupan? hidup itu untuk dimaknai, bukan hanya untuk dijalani apa adanya. Peristiwa kehampaan inilah yang kemudian menggiring saya untuk membeli buku tersebut, buku yang tidak begitu berat, namun kaya akan makna.

"Einstein" sendiri bercerita perihal kehidupan penemu ulung tersebut, sejak dari beliau kecil hingga meninggal dunia. Sumbernya pun beragam, tidak hanya satu sumber sang penulis menuliskan cerita ini. Yang paling menarik adalah sebagian besar cerita dikumpulkan dari hasil surat-menyurat Einstein kepada keluarga, kekasih, teman, bahkan, para professornya. Suatu kegiatan yang mungkin sudah hampir mustahil ditemui di era digital saat ini.

Ternyata setelah dibaca, meskipun belum tamat, banyak sisi-sisi manusiawi beliau yang jarang sekali orang tahu, karena orang hanya mengenal beliau sebagai simbol kejeniusan. Padahal, banyak juga cerita kehidupannya yang mirip sekali dengan cerita hidup kebanyakan orang.

Itu dia sebenarnya yang ingin saya cari dari buku ini, sisi manusiawi. Contohnya adalah bagaimana perasaan beliau terhadap kekasihnya, bagaimana gairah dirinya terhadap ilmu pengetahuan, dan bahkan perasaan beliau tentang kehidupan itu sendiri. Semua tercermin dalam karya ini.

Meskipun belum tamat membacanya, ada satu kisah yang menarik yang saya baca, yaitu bagaimana beliau setelah lulus kuliah kesulitan mendapatkan pekerjaan dan beliau terlunta-lunta dengan mengharapkan balasan surat dari para Professornya. Bahkan beliau rela bekerja serendah-rendahnya hanya saja untuk menikahi dan menghidupi kekasih hatinya yang tidak cantik, pincang, dan kutu buku karena kekasihnya tersebut telah mengandung anak dari dia.  Belum lagi cerita mengenai betapa tingginya penghargaannya terhadap musik khususnya Mozart dan Bach yang menurut beliau seperti sesuatu yang sudah ada di alam dan tinggal dipetik, tidak seperti karya Bethoveen yang terlalu artificial.

Kisah Einstein membuat saya berpikir (karena tuhan suka dengan orang yang berfikir), bahwa sebenarnya manusia itu diberikan kesempatan yang sama, tetapi hanya kemudian bagaimana jalan yang akan dipilih dan mencoba memaknai hiduplah yang kemudian akan menjadi berbeda.

Kisah "Einstein" bisa menjadi pelipur lara dan juga bahan inspirasi seseorang untuk terus maju dan tentu saja, melanjutkan cita-cita yang mungkin sudah sempat dikubur yang entah ada dimana.

Tuesday, October 15, 2013

Alasan untuk menulis..

Ada alasan mengapa menulis menjadi suatu hal yang gemar penulis lakukan, bukanlah alasan yang spesifik, namun cukuplah alasan tersebut untuk diri penulis saja, jika ada yang mengikuti alasan atau saran penulis, setidaknya membuktikan bahwa apa yang mendasari penulis melakukan hal tersebut benar adanya, dan di sisi lain ada juga yang membaca tulisan ini dan bermanfaat..

Alasan pertama, menurut penulis, menulis merupakan suatu sarana untuk mengaktualisasikan diri penulis, mewujudkan apa yang ada dibenak penulis setidaknya menjadi suatu konsep, tidak hilang begitu saja..ide atau gagasan-gagasan seringkali muncul, dan seringkali juga tidak berada di tempatnya. Misalkan saja berada di kamar mandi, saat kita hendak mandi. Seringkali ide segar baik itu ide untuk tema tulisan, hal yang kita lakukan, atau bahkan evaluasi diri dari yang telah kita lakukan muncul dengan sangat brilian. Bahkan penulis seringkali berpikir, seandainya saja ada yang mau menciptakan tablet komputer seukuran kaca kamar mandi yang murah meriah sehingga setiap orang yang memiliki ide yang kebetulan sama-sama di kamar mandi, dapat segera menuangkannya dalam bentuk tulisan..

Alasan yang kedua adalah, dengan menulis, penulis tidak terlupa, bahkan jika penulis membuka kembali tulisan penulis, penulis menjadi ingat tentang apa yang pernah penulis rasakan, pernah penulis pikirkan..ya dengan membaca tulisan kita kembali, maka kita akan merasa bahwa kita pernah ada dan pernah menuangkannya dalam tulisan..Aku berpikir, maka aku ada..dan aku menuangkannya ke dalam bentuk tulisan lebih tepatnya baru aku ada.

Alasan ketiga, melalui tulisan, sebenarnya kita mengasah kemampuan bahasa tulis kita. Seseorang lancar dalam berbahasa indonesia secara komunikasi hal tersebut karena orang tersebut rajin untuk berbicara dalam bahasa indonesia..begitu juga dalam bahasa inggris..Hal yang mau penulis katakan adalah, dengan menulis, kita sebenarnya melakukan shaping atau membentuk bahasa tulisan kita sendiri.

Alasan keempat adalah, sebenarnya dengan menulis, penulis sekaligus belajar mengenai suatu hal..Banyak dari tulisan yang penulis keluarkan pada awalnya bukan karena penulis ahli di bidangnya, melainkan karena penulis pertama tertarik dengan suatu isu, kemudian penulis berpikir bahwa akan lebih baik jika kita menulisnya..maka kita akan mencari bahan lebih banyak lagi..itu makanya dulu guru-guru SD waktu penulis kecil selalu menasehati bahwa jika kita ingin belajar dan menjadi pintar, ada baiknya dilakukan sambil menulis..karena dua kali ilmu tersebut akan masuk ke kepala kita..nasihat orang terdahulu memang selalu baik..

Begitulah setidaknya alasan yang penulis ambil sebagai dasar mengapa penulis rajin menulis dan mengapa beberapa hari belakangan ini penulis banyak mengeluarkan tulisan-tulisan di beberapa blog penulis..semoga tulisan ini berguna bagi mereka yang sedang mencari inspirasi untuk memulai: menulis!


Thursday, September 12, 2013

Amien atau tidak amien?

Cerita ini sebenarnya sudah terjadi beberapa bulan yang lalu, tepatnya saat bersama rekan doktoral dari ETH Zurich, Swiss, meneliti tentang preferensi atau willingness to pay dari warga yang tinggal di sekitaran atau terkena dampak dari luapan sungai Ciliwung. Sebenarnya ceritanya cukup sederhana, tapi setelah dipikir secara mendalam ternyata bisa banyak makna.

Alkisah di suatu rumah responden, penulis bertemu seorang ibu yang sudah cukup tua..awalnya dia kurang welcome terhadap saya, namun karena saya memakai dandanan batik, dan tampang meyakinkan, akhirnya beliau mau juga untuk dimintai pendapatnya. Setelah berlangsung cukup lama dan penulis hendak mengakhiri tanya jawab dengan memberikan souvenir, beliau berujar, "semoga nanti mas sukses deh..saya doain jadi anggota DPR"..celotehan yang disertai doa tersebut memang terkesan sangat normal dan biasa saja, tetapi ada makna mendalam yang bisa saya resapi dan cukup menggelitik.

Makna yang pertama adalah yang cukup menggelitik, pertanyaan "apakah saya pantas jadi anggota DPR?". Pada saat beliau berujar tersebut penulis cukup bingung sebenarnya, mau di aminin ataukah tidak? sehingga penulis hanya bisa tertawa di dalam hati. Doa yang menurut seseorang baik, tetapi belum tentu yg didoakan menganggapnya itu baik. DPR dengan segala seluk beluknya terkadang membuat penulis yang membaca beberapa surat kabar sedikit muak. Lantas apakah baik menolak sebuah doa terlebih orang tersebut masih di depan kita?

Makna yang kedua merupakan resapan dari yang pertama, mengapa sampai seorang ibu yang bisa dibilang masyarakat kelas menengah ke bawah ini sampai mendoakan penulis sedemikian rupa yang dianggapnya baik? maka disinilah penulis baru mengerti tentang sesuatu.

Indonesia merupakan negara dengan berjuta masalah, dan hidup dari menyelesaikan satu masalah ke masalah yang lainnya. Namun kenapa negara ini masih juga sanggup berdiri sampai saat ini? jawabannya adalah adanya rasa optimisme warganya.

Seseorang yang didatangi oleh seseorang seperti saya, dan menjelaskan hal-hal rumit seperti metodologi penelitian dan fungsi penelitian hingga manfaatnya dianggap seseorang tersebut akan membawa negara ke arah yang lebih baik. Ada rasa optimisme yang mereka rasakan disaat anak muda, bisa dibilang demikian, masih ada yang memikirkan bangsanya, rela mencari solusi untuk warganya. Rela berkorban untuk kemashalatan bersama, bukan individu atau segelintir orang. Dari sini kemudian saya berpikir bahwa memang, jika kita ingin negara ini tetap bertahan, teruslah memelihara rasa optimisme ini, dibidang apapun. Buat mereka semua yang tinggal di wilayah kita merasakan hal tersebut. Tularkanlah rasa optimisme.

Seseorang seperti gubernur Jokowi mengapa bisa dicintai rakyatnya, karena beliau berhasil menyebarkan rasa optimisme yang pastinya disertai juga dengan kerja nyatanya.

Rasa optimisme ini akan semakin mudah menyebar disaat seseorang tersebut merasa terpukau dengan apa yang kita katakan, dengan artian semakin kita punya solusi dan berpendidikan tinggi, semakin tinggi pula rasa optimisme seseorang terhadap orang tersebut dalam membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Dan memang dalam seminar beberapa bulan yang lalu saya ikuti bahwa suatu kota itu akan terus berkembang jika happy index warga yang tinggal di dalamnya terus meningkat. Happy index akan bisa kita tingkatkan salah satunya dengan menyebarkan optimisme. Jadi, mari kita sebarkan!