Friday, March 21, 2014

Jakarta Baru, mungkinkah?

Tulisan ini merupakan hasil perenungan saya saat sedang naik angkot ataupun naik kereta dan yang terbaru pada saat mengikuti kegiatan ngarung Ciliwung bersama teman-teman komunitas. Sebuah tulisan yang berawal dari pertanyaan, Jakarta baru, mungkinkah?

Tagline "Jakarta Baru" pertama kali dipopulerkan pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta oleh salah satu calon gubernur pada saat itu, Bapak Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama. Dengan slogan ini, beliau berhasil mendapatkan kepercayaan rakyat Jakarta untuk memimpin DKI Jakarta selama 5 tahun ke depan. Namun seiring dengan waktu dan naik turunnya dinamika politik, Bapak Joko Widodo berencana maju ke pemilihan presiden. Lantas warga DKI yang budiman serentak berkata, Slogan "Jakarta Baru", palsu.

Saya tidak setuju!

Slogan menurut saya untuk kasus Bapak Jokowi, bukanlah kata-kata magis yang akan bergerak sendiri dan dalam satu malam seperti cerita tangkuban perahu: jadi. Melainkan butuh usaha kolektif yang tidak mudah dan membutuhkan effort dari warganya sendiri. Dengan kata lain, slogan untuk menciptakan optimisme warga. Optimisme warga perlu sebagai modal politik awal dalam melakukan perubahan. Sebagai contoh, misalkan saja pada saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta modal politik beliau di kisaran 75%. Tiap kebijakan yang diambil bisa meningkatkan modal politik ataupun justru menurunkan modal politik beliau. Pada saat modal politik menjadi 30%, akan sulit bagi beliau untuk melakukan perubahan, begitu pula sebaliknya pada saat modal politik mencapai 90% akan sangat mudah dilakukan perubahan.

Dalam kasus Jokowi di Jakarta, diprediksi modal politik beliau terus mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan beliau berusaha "merubah" Jakarta lebih baru dan tidak dengan penyelesaian konvensional yang diambil gubernur sebelumnya. Tetapi fenomena yang menarik adalah, mengapa turun? bukankah warga DKI yang menginginkan "Jakarta Baru" waktu pemilu dulu? hal tersebut dikarenakan kesalahan ataupun mental warga DKI sendiri yang anti perubahan. Bagaimana tidak, warga DKI yang memilih "Jakarta Baru", bebas kemacetan, ternyata justru orang yang paling utama melanggar lalu lintas dan menimbulkan kemacetan. Warga DKI yang menginginkan "Jakarta Baru" bebas banjir, justru mereka paling giat menyebabkan banjir. Saya berbicara mengenai warga pinggiran sungai di Jakarta. Pada waktu lalu mengarungi Ciliwung, ternyata mereka masih melempar sekantong penuh sampah ke sungai. Padahal saya tahu, mereka inginkan perubahan.

Hal ini lah yang kemudian saya mengatakan, ini bukan salah Jokowi, Jokowi hanyalah membangkitkan optimisme warga dan sebagai imbalannya mendapatkan modal politik yang besar. Yang salah kemudian adalah warga sendiri yang tidak mau berubah ataupun sulit menerima perubahan. Saya tidak yakin Jakarta jika dipimpin oleh partai putih pun akan mampu mengurai permasalahan Jakarta yang semraut ini. Merubah Jakarta, maka merubah perilaku warganya. Jakarta Baru = Warga Jakarta Baru (pemikiran, taat hukum, perilaku, dan lain sebagainya)


-ditulis bukan untuk dukungan Jokowi, karena saya masih golput-

Thursday, March 20, 2014

Gejala Over Nationalism..

Pertanyaan mendasar dari tulisan saya kali ini adalah Over Nationalism, is it good? my answer: I don't think so..

Nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu sikap atau paham yang lebih bertujuan kepada menimbulkan identitas bersama yang kuat, yang karena scope-nya adalah nation, maka hal tersebut lebih merujuk kepada tujuan akhir menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara.

Nasionalisme itu sebenarnya baik, apalagi jika hal tersebut bertujuan untuk menggerakkan pembangunan nasional, dimana warga/masyarakat dapat dengan mudah digerakkan hanya dengan semangat nasionalis ini. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah, apabila dilakukan secara berlebihan (over), apakah masih bisa dikatakan sebagai baik?

Contohnya adalah penolakan mati-matian terhadap adanya orang asing di negara sendiri. Berpikir bahwa orang asing tersebut akan memanfaatkan kita dan mengambil keuntungan dari kita. Memang perasaan itu boleh-boleh saja sebagai cara kita untuk waspada, tetapi seharusnya tidak ditunjukkan secara terbuka, secara terang-terangan melalui ekspresi maupun bentuk-bentuk lainnya.

Keberadaan orang asing di negara kita sudah tidak dapat dihindari lagi. Alasan klasiknya adalah hal tersebut karena munculnya perkembangan teknologi, komunikasi dan transportasi. Namun terkadang saya berfikir, bagaimana jika gejala moving/migrasi ini, baik secara legal maupun ilegal, merupakan salah satu cara alam atau bahkan manusia men-shaping dunia itu sendiri. Ingatkah kita bahwa dulu manusia tanpa adanya sekat-sekat negara melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya? Mungkin saja hal tersebut sekarang ini merupakan arus perpindahan kedua yang tidak kita sadari. Tetapi karena sekarang sudah ada sekat-sekat negara, makanya kemudian seseorang dianggap legal atau tidak legal berpindahnya.

Hal lainnya adalah, masih terkait dengan judul di atas, pada kasus penolakan kita terhadap orang asing, mengapa kita jika berfikir mereka ingin memanfaatkan kita ataupun mencari keuntungan dari kita, tidak kita manfaatkan kembali, kita cari keuntungan kembali? justru itu lebih win-win solution. Toh perpindahan ini tidak dapat dihindari karena merupakan suatu peristiwa yang alami dalam dunia men-shaping dirinya sendiri. Hanya saja kemudian, apakah kita siap? ya harus siap mau tidak mau. Masih banyak orang yang susah cari makan di negeri sendiri. Mengapa tidak meningkatkan diri? ada banyak cara meningkatkan diri. Saya pernah lihat orang-orang dengan keterbatasan diri tetapi mampu berhasil. Tetapi kenapa kita terlalu malas untuk berbuat yang sama? atau sekedar  mencari tahu hal yang sama? itu pertanyaan untuk kita sendiri. Hal-hal ini kemudian justru disalahartikan, orang-orang yang tidak berdaya menggunakan dalih nasionalisme, bahkan orang yang terlalu dekat dengan asing dianggap tidak nasionalis. Dalam hal ini terjadilah kemudian gejala over nationalism yang saya maksud. Gejala yang bermula dari ketidakmampuan diri.

Jepang, negeri yang awalnya introvert terhadap dunia luar kemudian membuka diri, dan apa jadinya setelah itu, mereka menjadi negara maju. China, negara dengan perekonomian dan politik sentralistik pada tahun 70an, berani membuka diri dengan mengadopsi sistem pasar. Hasilnya adalah China sebagai negara maju dan kekuatan ekonomi dunia.

Sekarang kita harus menyerap pengetahuan mereka,karena suatu saat kita yang akan menguasai mereka..jangan jadi bangsa lemah..perdagangan bebas China-Indonesia, jangan takut, anggap sebagai tantangan! Komunitas ASEAN 2015, jangan takut, anggap sebagai tantangan!APEC 2020, jangan takut, anggap sebagai tantangan! ambil ilmu, persiapkan diri, dan kuasai.


-fikiran abstrak-




Si "Einstein"

Beberapa hari terakhir ini, saya sedang giat-giatnya membaca salah satu karya masterpiece Walter Isaacson yang berjudul "Einstein". Karya ini sendiri merupakan sebuah biografi hidup dari seorang tokoh yang dianggap genius dan spektakuler di jamannya. Namun sebenarnya ketertarikan saya bukan karena kejeniusannya tersebut, melainkan hal-hal lainnya yang jarang sekali diungkapkan di media manapun. Karya ini sendiri merupakan karya lain yang cukup mendapat reaksi positif dari berbagai pembaca di seluruh dunia. Karya Isaacson sebelumnya adalah biografi "Steve Jobs".

Memang, awalnya ketertarikan saya dengan "Einstein" karena setiap pulang ke rumah selalu merasa sepi, dan butuh hiburan, setelah merasa buat apa sebenarnya semua kesibukan ini semua untuk saya, toh setelah sampai di rumah kembali hampa, apakah hanya ingin menjadi boneka kehidupan? hidup itu untuk dimaknai, bukan hanya untuk dijalani apa adanya. Peristiwa kehampaan inilah yang kemudian menggiring saya untuk membeli buku tersebut, buku yang tidak begitu berat, namun kaya akan makna.

"Einstein" sendiri bercerita perihal kehidupan penemu ulung tersebut, sejak dari beliau kecil hingga meninggal dunia. Sumbernya pun beragam, tidak hanya satu sumber sang penulis menuliskan cerita ini. Yang paling menarik adalah sebagian besar cerita dikumpulkan dari hasil surat-menyurat Einstein kepada keluarga, kekasih, teman, bahkan, para professornya. Suatu kegiatan yang mungkin sudah hampir mustahil ditemui di era digital saat ini.

Ternyata setelah dibaca, meskipun belum tamat, banyak sisi-sisi manusiawi beliau yang jarang sekali orang tahu, karena orang hanya mengenal beliau sebagai simbol kejeniusan. Padahal, banyak juga cerita kehidupannya yang mirip sekali dengan cerita hidup kebanyakan orang.

Itu dia sebenarnya yang ingin saya cari dari buku ini, sisi manusiawi. Contohnya adalah bagaimana perasaan beliau terhadap kekasihnya, bagaimana gairah dirinya terhadap ilmu pengetahuan, dan bahkan perasaan beliau tentang kehidupan itu sendiri. Semua tercermin dalam karya ini.

Meskipun belum tamat membacanya, ada satu kisah yang menarik yang saya baca, yaitu bagaimana beliau setelah lulus kuliah kesulitan mendapatkan pekerjaan dan beliau terlunta-lunta dengan mengharapkan balasan surat dari para Professornya. Bahkan beliau rela bekerja serendah-rendahnya hanya saja untuk menikahi dan menghidupi kekasih hatinya yang tidak cantik, pincang, dan kutu buku karena kekasihnya tersebut telah mengandung anak dari dia.  Belum lagi cerita mengenai betapa tingginya penghargaannya terhadap musik khususnya Mozart dan Bach yang menurut beliau seperti sesuatu yang sudah ada di alam dan tinggal dipetik, tidak seperti karya Bethoveen yang terlalu artificial.

Kisah Einstein membuat saya berpikir (karena tuhan suka dengan orang yang berfikir), bahwa sebenarnya manusia itu diberikan kesempatan yang sama, tetapi hanya kemudian bagaimana jalan yang akan dipilih dan mencoba memaknai hiduplah yang kemudian akan menjadi berbeda.

Kisah "Einstein" bisa menjadi pelipur lara dan juga bahan inspirasi seseorang untuk terus maju dan tentu saja, melanjutkan cita-cita yang mungkin sudah sempat dikubur yang entah ada dimana.