Friday, October 21, 2011

Berbagai Muka Scholarship

Tema ini sebenarnya merupakan tema lawas yang berhasil saya pikirkan beberapa tahun lalu tepatnya setelah membaca tulisan Bapak Abdul Irsan, mantan Duta Besar Indonesia, yang menuliskannya di dalam sebuah buku berjudul "Catatan harian seorang diplomat", yang mana buku tersebut saat ini sedang berada di salah satu teman.

Dalam salah satu paragraphnya, saya sebenarnya agak terkejut, ternyata ada juga pemikiran seperti ini, dan baru saya dengar pada saat itu. Tapi terima kasih kepada beliau jugalah, saat ini jadi menambah faktor-faktor lain dalam menganalisa persoalan khususnya isu-isu yang sesuai yang beliau bahas. Beliau mengatakan bahwa suatu beasiswa (scholarship) ke luar negeri sesungguhnya memiliki wajah lain. Saya menyebutnya berbagai wajah. Di satu sisi, beasiswa mungkin memberikan suatu prestise tersendiri bagi yang menerima, karena dengan diterimanya dia untuk mendapatkan beasiswa, maka secara tidak langsung menyatakan bahwa dirinya adalah termasuk orang spesial karena merupakan orang yang dipilih dari sekian banyak orang yang juga melamar beasiswa yang serupa. Selain itu, dapatnya dia beasiswa juga dapat mengakibatkan dia mendapatkan kesempatan langka mengunjungi negara luar.

Namun demikian, terdapat juga wajah lainnya. Yaitu, beasiswa ternyata juga dapat digunakan orang luar untuk mendapatkan informasi intelejen mengenai negara kita secara gratis. Gratis dengan artian mereka tidak perlu susah payah mengirimkan seorang agen atau analis untuk mengetahui langsung negara kita. Hal ini dikarenakan di akhir masa beasiswa atau masa kuliah i luar negeri ini, mereka seringkali mendapatkan tugas untuk menulis. Ada universitas yang mungkin dengan terang-terangan menyuruh mahasiswanya untuk menulis sesuatu tentang negaranya, namun ada pula yang tidak. Tetapi karena mahasiswa tersebut kurangnya bahan terhadap negara yang menjadi objek penelitiannya, maka akhirnya ya kembali lagi ke negaranya sendiri.

Dalam proses penelitian ini, seringkali, jika tidak mau dibilang kacangan, mereka melakukan studi, penelitian, serta analisis lapangan yang bisa dibilang komprehensif. Bahkan tidak sedikit pula para scholar (sebutan bagi mereka yang mendapat beasiswa di sana) yang kenal dekat dengan para staff berbagai instansi yang penting. Dan bahkan mungkin juga karena akses dia yang notabene anak orang berpengaruh di negaranya maka mendapatkan akses yang sangat mudah. Dengan demikian, dalam tulisan yang nantinya tersimpan di luar negeri tersebut, tersimpanlah berbagai dokumen yang secara lengkap membahas suatu negara langsung dari tangan pertama orang dari negara tersebut. Analisa mereka akan sangat dapat dipercaya karena analisis mereka merupakan gabungan antara pengalaman dia secara pribadi baik sosiologis, lingkungan, bahkan nilai-nilai yang dia dapat sejak dia masih kecil.

Wajah lainnya yang sangat penting adalah, dengan beasiswa ini sebenarnya merupakan juga proses doktrinasi terhadap para mahasiswa di sana untuk mendapatkan nilai-nilai baru yang mungkin ditanamkan ke dalam alam bawah sadar serta berpotensi akan diaplikasikan di kemudian hari bagi para mahasiswanya itu. Contoh paling konkrit dari hal ini sendiri adalah begitu paham liberal begitu merasuk ke dalam teman-teman kita yang belajar di negara lain. Hal ini juga sebenarnya juga telah diakui sendiri oleh George Soros, sebagai orang kaya, yang memiliki cita-cita terbentuknya masyarakat terbuka di seluruh dunia. Dalam bukunya "The Age of Faliability" jika tidak salah judulnya, beliau mengatakan bahwa sudah begitu banyak usaha-usaha yang beliau lakukan selama hidupnya dengan cara mengirimkan para anak-anak muda Afrika untuk belajar baik itu di eropa atau di Amerika secara gratis untuk kemudian menerapkan pengetahuannya di Afrika itu sendiri. Usaha ini beliau lakukan pada saat di Afrika begitu kentalnya politik apartheid di berbagai pemerintahan. Begitu juga usaha beliau di eropa timur. Dengan usahanya, beliau berusaha membawa ideologi pasar bebas dan masyarakat terbuka ke sana, yang sekali lagi dengan jalan untuk menjalankan suatu misinya di kemudian hari. Di Indonesia sebenarnya tidak berbeda jauh. Bahkan sekarang salah satu anak lembaga yang didirikannya telah berdiri di Indonesia, dan belum lama ini saya melihat mereka membuka kesempatan belajar di universitas di Inggris yang telah di tentukan, yang memang memiliki tradisi human rights ataupun juga pemikiran liberal yang kental.

Dengan berbagai muka atau wajah beasiswa ini sesungguhnya tidak heran kemudian apabila terjadi peristiwa Arab Springs. Yaitu dimana terjadi gelombang besar-besaran di daratan arab dan afrika, yang ingin menggantikan suatu sistem lama yang tidak sesuai dengan sistem demokrasi. Untuk mengetahui itu semua benar atau tidak, memang harus diadakan penelitian lanjutan yang mendalam kemudian apakah mereka yang menyulut lebih jauh peristiwa sosial yang terjadi di seantero arab tersebut memiliki keterkaitan dengan  beberapa tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di negara-negara barat. Sedangkan fenomena masyarakat yang anarkis sudah tidak perlu diragukan lagi karena masyarakat yang mayoritas berpendidikan kurang, kurang secara ekonomi, dan juga memiliki tokoh yang sangat menonjol, akan gampang terprovokasi oleh tokoh tersebut.

Dengan berbagai wajah tersebut, akan sangat bijaksana apabila memang kita ingin pun pada akhirnya memperoleh beasiswa, untuk kemudian memikirkan tujuan dari beasiswa tersebut. Apakah sesuai dengan hati nurani kita dan hati nurani bangsa, ataukah justru hati nurani mereka...

Akbarecht

Teater Koma Dalam Antigoneo

Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan untuk melihat salah satu karya teater yang dibawakan oleh teater koma dalam karyanya yang ke-124. Karya ini diberi nama Antigoneo.

Antigoneo sendiri naskah aslinya merupakan karya Sophocles dengan judul asli Antigone. Naskah ini telah dimainkan sejak jaman Yunani Kuno. Kemudian, naskah yang sarat akan makna universal ini kemudian disadur oleh seorang Evald Flisar dalam karyanya yang berjudul Antigone now. Dan karyanya inilah yang kemudian disadur kembali menjadi Antigoneo.

Cerita ini berkisah mengenai kegigihan seorang wanita, seorang kakak yang begitu mencintai adiknya, yang telah meninggal dan terkubur di sebuah pemakaman tua. Pemakaman tua ini menjadi disorot oleh beberapa media massa terkait rencana pemindahannya ke tempat lain karena adanya keinginan suatu resort hotel untuk membangun fasilitas-fasilitas di atasnya. Namun di balik semua itu, ada satu orang wanita tersebut yang bernama klara, dengan gigih tetap menolak rencana tersebut dengan alasan-alasan yang tidak logis, dan lebih terdengar puitis. Kegigihannya tersebut membuat bingung pamannya, yang tidak lain adalah walikota di daerah tersebut karena sudah berjanji pada masa kampanyenya untuk meningkatkan perekonomian, menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Rakyatnya pun telah banyak yang mulai menanamkan saham di fasilitas hotel tersebut. Alkisah, akhirnya dengan berbagai cara, sang paman berusaha menyingkirkan keponakannya itu, bahkan dengan mengatakan ponakannya tersebut mengalami gangguan kejiwaan. Cerita diakhiri dengan meninggalnya klara karena bunuh diri lompat dari jendela kamar rumah sakit jiwa.

Cerita ini menurut saya sungguh menarik. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa tidak menarik, tetapi bagi saya yang selalu berusaha mengetahui apa dibalik itu semua menangkap berbagai pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara ataupun mungkin sang penulis naskah itu sendiri.

Ada suatu perdebatan, gejolak batin yang ingin diperlihatkan. Dari lakon ini juga diperlihatkan dimana terjadi perbedaan antara penggunaan pemikiran logis dan dengan hanya menggunakan hati. Alasan yang disampaikan oleh pamannya sangat logis, tetapi alasan yang disampaikan oleh klara sangat puitis dan magis, bahkan bisa dibilang sangat ingin menguji, apakah kita masih punya hati?

Tata panggungnya walau minim hanya menggunakan satu panggung, tetapi sangat kaya akan simbol-simbol. Panggung didesain sangat detail. Ada simbol dewi-dewi yunani di atasnya. Selain itu, walau sangat minim, tetapi panggung tersebut sangat luar biasa karena para pemain bisa secara kaya melakukan improvisasi dan menggunakan semua fasilitas yang ada di atasnya.

Untuk komposisi lagu, lagu hanya dimainkan secara solo yang menggambarkan seorang gipsy dengan dua pengikutnya dengan hanya satu alat musik. Namun demikian, itu semua dapat mewakili keheningan yang timbul dari itu semua. Walaupun di akhir pertunjukan diselingi lagu ave maria yang terkenal karya schubert.

Untuk pemain, kekuatan pertunjukan kali ini memang di aktingnya. Klara sangat mengagumkan. begitu juga pemain lainnya.

Pencahayaan juga baik.

Di samping itu, kesan yang di keluarkan lewat kata-kata sekali lagi menjadi istimewa karena setiap pertunjukan teater koma ini ada saja kata yang tetap berbekas seperti halnya

"Maybe we are here not to understand each other, but to play our own role until the end and later say good bye" by Klara.


Akbarecht