Indonesia merupakan negara yang cukup strategis, karena terletak antara dua benua, dilalui 2 samudera, dan dilalui oleh garis khatulistiwa. Hal yang sangatlah penting, yaitu dilalui oleh garis khatulistiwa karena dengan begitu Indonesia memiliki iklim tropis dengan hanya 2 musim (kemarau-hujan), dan juga Indonesia seringkali dilewati oleh satelit di ruang angkasa. Letak Indonesia yang strategis tersebut membuat beberapa Negara tertarik untuk membangun suatu stasiun peluncur roket yang membawa satelit di Indonesia, negara yang paling terdepan dalam hal ini yang menyatakan ketertarikannya adalah Russia.
Seperti kita ketahui suatu roket yang membawa satelit dapat diluncurkan dengan dua macam cara (sepengetahuan penulis), yaitu yang pertama adalah dengan menerbangkannya secara vertikal dari bawah ke atas, ataupun dengan cara horizontal dengan melalui pesawat udara terlebih dahulu. Untuk metode yang pertama yaitu dengan cara vertikal, konsekuensinya adalah dibutuhkannya bahan bakar roket yang sangat besar mengingat apabila hendak menerbangkannya dari bawah ke atas memerlukan daya yang cukup besar. Beda halnya dengan cara horizontal. Dengan metode horizontal, diperlukan suatu landasan pacu yang sangat lebar dan panjang untuk menerbangkan pesawat yang membawa satelit, kemudian lepas landas, dan baru pada ketinggian tertentu satelit tersebut dilepaskan untuk kemudian dikendalikan dari bawah dengan menggunakan remote. Contoh untuk yang pertama adalah yang sering diperlihatkan di film-film seperti yang terkenal adalah "Armageddon". Sedangkan untuk metode horizontal adalah seperti dalam film "Superman Returns".
Terlepas dari dua metode tersebut, sekitar dua tahun lalu kira-kira Pemerintah Indonesia telah menandatangani suatu MoU(Nota Kesepahaman) dengan pemerintah Russia terkait rencana pembangunan stasiun peluncur satelit di Biak. Pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa rencana ini patut untuk diapresiasi mengingat akan menjadi penggerak ekonomi khususnya di kawasan Biak (Papua). Dalam peluncuran satelit seringkali terdapat banyak turis asing yang ingin mengamati, sehingga otomatis akan menggiatkan perekonomian masyarakat Biak.
Pertanyaannya adalah, mengapa Biak? Jawabannya adalah karena seperti kita ketahui Biak merupakan daerah timur Indonesia yang wilayahnya bisa dikatakan sebagai dekat dengan khatulistiwa. Biak juga memiliki landasan panjang sehingga setelah terbang satelit tersebut akan lebih mudah di lepaskan dan sampai ke orbit dengan lebih singkat, mengingat satelit hanya dapat mengorbit secara baik di Geostationary Orbit (GSO) dimana GSO terletak di sepanjang garis khatulistiwa. Hal ini diperhitungkan akan lebih memperkecil biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Russia dibandingkan dengan menggunakan stasiun peluncur satelit yang selama ini biasa digunakan seperti di Kazakhtan, dan lain-lain.
Namun demikian, hal ini sebenarnya patut disikapi dengan berbagai macam kajian. Apakah pemerintah Indonesia sebenarnya telah sanggup untuk menggelar stasiun peluncur roket tersebut atau tidak, khususnya dikaji dari Hukum Angkasa Internasional.Seperti sudah diketahui,dalam hal peluncuran ini kita tidak bisa dengan semena-mena meluncurkan saja dan hanya berbekal perjanjian bilateral dengan pihak kedua. Ada suatu rezim yang harus dipatuhi yaitu rezim hukum angkasa internasional. Setidaknya ada tiga konvensi yang terkait dengan hal ini, yaitu Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects (sering disingkat: Liability Convention 1972), Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space (sering disingkat: Registration Convention 1974), dan juga konvensi induknya yaitu Treaty on Principles Governing The Activities of States in the exploration and use of outer space, including the moon and other celestial bodies (sering disingkat:outer space treaty 1967).
Di dalam Registration Convention 1974, yang dimaksud dengan negara peluncur dalam Pasal I nya adalah:
a. a state which launches or procures the launching of a space object; dan
b. a state from whose territory or facility a space object is launched;
Sebenarnya Pasal ini merupakan pengulangan Pasal yang sama dalam Pasal I Liability Convention 1972.
Dengan adanya rumusan tersebut, maka dapat dikatakan, Indonesia sebagai penyedia wilayah peluncuran dapat dikategorikan sebagai negara peluncur.
Ini sebenarnya bisa dikatakan bagus, dengan catatan apabila peluncuran yang dilakukan akan lancar. Namun demikian, bagaimana seandainya objek angkasa yang akan diluncurkan tersebut tidak lancar, dengan artian saat diluncurkan objek tersebut justru jatuh ke negara tetangga, atau nanti pada saat masa edar di orbitnya telah habis jatuh ke negara lainnya. Maka Indonesia akan ikut terlibat untuk membayar ganti kerugiannya.
Dalam Liability Convention 1972, Pasal II, dikatakan bahwa "negara peluncur memiliki kewajiban secara absolut/mutlak untuk membayar kompensasi untuk kerusakan yang diakibatkan objek angkasa yang telah diluncurkannya dalam hal tersebut terjadi kerusakan di darat ataupun mengenai pesawat udara.". Selanjutnya dalam Pasal IVa apabila kerusakan terjadi mengenai permukaan ataupun pesawat terbang di negara ketiga, maka kewajiban adalah mutlak.". Pasal V ayat 1 menyatakan bahwa dalam hal dua negara secara bekerjasama meluncurkan objek angkasa, maka mereka secara bersama-sama berkewajiban terhadap kerusakan tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah Indonesia telah sanggup untuk menanggung beban itu secara bersama-sama dengan Russia. Atau mungkin Indonesia setuju karena ada keuntungan yang dijanjikan oleh Russia terkait peluncuran yang berhasil, dan juga ada share kewajiban membayar kompensasi yang sesuai kemampuan Indonesia yang telah disepakati.
Mengenai pertanggunjawaban ini ada kasus yang menarik, yaitu Cosmos 954, milik Russia. Dimana pada tanggal 24 Januari 1974, satelit Russia yang berbahan bakar uranium ini jatuh ke wilayah Canada. Pihak Russia telah menyatakan terlebih dahulu kepada sekretaris Jenderal PBB sesuai kewajibannya bahwa satelit mereka akan jatuh di wilayah Canada. Pemberitahuan ini juga telah diberitahukan kepada pihak Canada. Pada saat satelit tersebut jatuh, sesuai kewajibannya, maka pihak Russia (waktu itu Uni Sovyet) menawarkan untuk melakukan pembersihan terhadap puing-puing satelit dan meminta izin untuk memasuki wilayah Canada. Namun kemudian pihak Amerika Serikat melakukan komunikasi dengan pihak Canada, yang melarang pihak Russia untuk masuk ke wilayah mereka. Sebagai gantinya, para ahli dari Amerika yang kemudian melakukan pembersihan. Menurut beberapa sumber, kehadiran ahli dari Amerika cukup dipertanyakan pada saat itu, karena berkembang isu bahwa 9 dari 10 yang dikirim merupakan agen CIA pada saat itu. Hal ini bisa dipahami karena saat itu masih dalam suasana perang dingin, dimana Amerika secara langsung tidak mau ketinggalan dengan teknologi Russia, sehingga mereka ingin mempelajari satelit yang dimiliki oleh Russia dengan berkoordinasi dengan sekutunya. Namun hal ini kemudian berdampak dengan kompensasi yang ingin ditanggungnya. Pihak Canada mengklaim pihak Russia untuk membayar sekitar 11 juta Dollar pada saat itu karena dampak kerusakan terhadap alam yang signifikan, yang kemudian dibantah oleh Pihak Russia karena mereka tidak diizinkan untuk masuk melakukan pembersihan. Akhirnya disepakati oleh kedua belah pihak bahwa ganti rugi yang harus dibayarkan adalah 3 juta dollar pada saat itu.
Hal ini jugalah yang kemudian mendapat pertanyaan dari saya, bagaimana seandainya Indonesia dalam kondisi seperti Russia, walaupun mungkin menanggung beban secara bersama-sama, namun jumlahnya tidaklah sedikit. Belum lagi perkembangan teknologi saat ini serta dampak kerusakan yang akan besar mengingat populasi dunia telah meningkat sejak tahun 1979 yang mana berpotensi mengenai populasi penduduk lebih tinggi. Apakah sudah sepantasnya Indonesia masuk ke dalam era luar angkasa seperti yang diinginkan Russia? Apakah tidak lebih baik untuk mempertimbangkan memperbaiki sektor-sektor kesejahteraan rakyat yang lain terlebih dahulu baru kemudian memprioritaskan hal ini? Memang halnya pendapatan yang diterima pihak Indonesia apabila berhasil akan cukup besar untuk pemasukan negara, tetapi bagaimana apabila tidak berhasil?sungguh kerugian yang sangat besar. Amerika Serikat saja baru-baru ini parlemennya masih keberatan dengan rencana presiden obama terkait meningkatkan dana untuk keperluan riset luar angkasanya yang mana telah memiliki teknologi canggih. Kenapa kita harus coba-coba. Hal ini sebenarnya diperparah karena entah karena berita teknologi yang kurang mendapat tempat di indonesia yang lebih dominan terhadap berita politik atau bagaimana sehingga hanya sedikit yang mengetahui berita ini. Terlebih lagi sekarang pemerintah justru berencana membangun stasiun kedua yang berada di Enggano, Bengkulu (2010).
Akbarecht
-Tulisan ini sebenarnya sudah dipikirkan untuk ditulis pada saat adanya rencana pembangunan stasiun Biak, namun terkendala dan baru ditulis kemudian setelah membaca berita mengenai stasiun kedua yaitu Enggano-