Thursday, December 9, 2010

Perang : Ultimum Remedium

Belakangan ini, Indonesia kembali mengalami persoalan yang terbilang cukup berat mengenai hubungannya dengan negara tetangga yang (seharusnya) bersahabat, tepatnya Malaysia. sudah beberapa kali hubungan kita dengan mereka mengalami pasang surut. Sebut saja beberapa masalah seperti perebutan dua pulau, Sipadan dan Ligitan yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia dalam keputusan mahkamah internasional (ICJ), dan lagi dengan masalah sengketa blok ambalat yang kini ingin juga diklaim oleh mereka sebagai akibat keputusan ICJ tersebut. Disamping masalah perebutan wilayah tersebut, Malaysia juga secara terang-terangan dengan berani melakukan penyiksaan terhadap ribuan Tenaga Kerja (disingkat:TKI) kita di sana. Dan yang lebih hangatnya lagi, baru-baru ini, Malaysia secara gamblang berusaha untuk mengklaim tari pendet serta wayang yang ditampilkan secara terselubung didalam iklan “enigmatic Malaysia” yang ditayangkan di Discovery channel mereka.


Kisah pasang surut hubungan ini sudah sejak lama sekali terjadi, jika kita menelaah lebih jauh, kita dapat menemuinya pada saat negeri Malaysia ini baru merdeka, dimana Indonesia secara tegas menolak dibentuknya negara Malaysia sebagai wujud dari bentuk kolonialisme baru kaum penjajah di Asia. Indonesia melalui Presiden Soekarno jelas sekali menolak dengan mengeluarkan slogan “Ganjang Malaysia” yang sangat heroik serta historis pada saat itu.


Terlepas dari sejarah serta permasalahan yang terjadi diatas, patut dicermati saat ini adalah tingginya keinginan rakyat Indonesia untuk mendengar langsung slogan tersebut disebutkan kembali pada saat ini oleh presiden kita, yang artinya akan memobilisasi secara besar-besaran kekuatan tempur kita yang terdiri dari kekuatan tempur utama, yaitu TNI dan kekuatan tempur cadangan yaitu rakyat Indonesia.


Perang, sebut saja demikian, merupakan upaya penyelesaian sengketa yang klasik didalam hukum internasional, kurang lebih seperti itu menurut salah satu ahli hukum internasional. Artinya, hukum perang itu telah ada sejak lama sekali, dan manusia selalu menggunakan cara-cara seperti itu dulunya. Namun seiring perubahan zaman, hukum perang tersebut telah mengalami metamorphosis, yang tadinya lebih menekankan kepada perangnya itu sendiri, sekarang berubah menjadi hukum yang lebih kepada pendekatan humaniter, dimana lebih ditekankan terhadap adanya perlindungan terhadap rakyat sipil didalam adanya peperangan. Namun demikian, perang sebagai upaya klasik tersebut sudah mulai ditinggalkan diera modern ini, walaupun masih saja sering adanya negara-negara yang secara arogan tetap menggunakan cara-cara seperti itu. Cara-cara diplomasilah yang lebih ditekankan pada era sekarang ini. Dan perang adalah kekalahan terbesar dalam berdiplomasi. Setidaknya tren ini mulai di pergunakan seiring pergantian kepemimpinan dinegara-negara maju.


Mengenai masalah perang itu sendiri, perlu dianalisa lebih jauh mengenai kesiapan indonesia sendiri, bukan kekuatan tempurnya, melainkan rakyat indonesia secara keseluruhan. Namun sebelum lebih jauh membahas ketahap tersebut, ada baiknya kita membahas akibat-akibat seandainya opsi berperang tersebut diambil oleh Indonesia.


Akibat yang pertama adalah, Indonesia secara langsung akan memutuskan hubungan diplomatiknya kepada malaysia. Yang artinya upaya-upaya perlindungan, yang walaupun selama ini dikritik kurang maksimal kepada TKI kita disana, akan hilang. Kita akan kesulitan untuk melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja. Hal ini memang dapat diakali dengan memberikan kuasa kepada perwakilan negara lain untuk mengurusi masalah-masalah kita, seperti halnya dulu Portugal yang memberikan kuasa kepada negara lain karena mereka masih kurang sepaham dengan status Timor-Timur yang masuk kedalam NKRI.


Akibat yang kedua adalah hubungan perdagangan kedua negara diprediksikan akan putus, karena bagaimanapun juga kedua negara masih saling membutuhkan dari segi perdagangan. Ditahun 2007, tercatat bahwa neraca perdagangan kita selama 2006 masih aktif, yang ditandai dengan ekspor kita ke Malaysia sebesar 4.111 juta US$ dan impor kita sebesar 3.193 juta US$, demikian tercatat dalam APEC 2007 yearbook. Artinya, secara ekonomi, kita masih akan membutuhkan Malaysia sebagai salah satu pengisi devisa kita, walaupun dapat diakali dengan membuka pasar kenegara-negara lain jika saja hubungan Indonesia-Malaysia memburuk seperti ke Russia ataupun kenegara-negara Afrika.


Akibat ketiga adalah, komunitas ASEAN, yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia akan mengalami kemunduran bahkan akan mengalami kehancuran. Karena ASEAN dibangun, seperti yang tercantum didalam klausa pembukanya bukan “we are the states..”, melainkan “we are the people..”, artinya, komunitas ASEAN hanya akan berkembang apabila kita sebagai masyarakat ASEAN bersama-sama ingin berkembang, yang dalam hal ini dibutuhkan suatu saling pengertian budaya, bahasa, dan rasa antara orang-orang yang ada di ASEAN. Bagaimana mungkin komunitas ini akan tercipta apabila nantinya rakyat Malaysia dan rakyat Indonesia saling tidak suka, otomatis tidak aka nada saling pengertian didalamnya.


Akibat keempat adalah, Indonesia akan mengalami kecaman dari dunia internasional. Piagam PBB secara jelas menganut prinsip non-intervensi. Dengan berperang, otomatis Indonesia secara sadar akan memasuki wilayah negara Malaysia, kedaulatan Malaysia, dan jelas sekali melanggar prinsip non-intervensi. Jika tindakan Indonesia ini didiamkan oleh PBB, maka akan menimbulkan suatu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia, karena akan menimbulkan suatu preseden bahwa negara dapat melanggar prinsip non-intervensi dalam hal ihwal sama dengan kasus Indonesia. Hal ini sudah pasti sangat ditentang, dan Dewan keamanan PBB pastinya akan mengambil langkah-langkah, karena tugas utama mereka memang “to maintain peace and security”. Dan resolusi yang nantinya dikeluarkan dapat berupa embargo ekonomi, maupun embargo militer.


Akibat Kelima, dengan adanya embargo ini, maka tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan menurun, dan negara-negara asing akan menarik semua investasinya di Indonesia karena ketidakstabilan politik di Indonesia. Ketidakstabilan ini akan mengakibatkan harga-harga bahan pokok kembali melonjak, yang akibatnya masyarakat Indonesia akan kesulitan memenuhinya. Akhirnya logika perut lapar rakyat lah yang akan berbicara, dimana pada saat lapar emosi tidak tertahankan, dan mengakibatkan kerusuhan kembali seperti tahun 1997-1998. Dan akhirnya tidak terjadi kestabilan politik dalam negeri dan rentan kudeta. Akhirnya prediksi orang-orang barat yang memasukkan Indonesia kedalam deretan failed states akan menjadi kenyataan.


Kelima akibat ini sebenarnya dapat terjadi sebaliknya kepada Malaysia seandainya Malaysia dahulu yang melakukan serangan kepada Indonesia, namun hal tersebut kecil sekali kemungkinannya, karena negara tetangga kita itu sangatlah mengerti akan hal ini. Dan mereka lebih senang diposisikan sebagai negara lemah apabila terjadi serangan oleh Indonesia.


Analisa akibat inilah yang kemudian ingin saya katakan, apakah Indonesia telah merasa sanggup untuk menanggung semua akibat yang diakibatkan oleh perang ini? Terlebih lagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut mungkin dapat dimaklumi di era soekarno, dimana Indonesia baru merdeka belum lebih dari 50 tahun, dimana tingkat ekonomi belum terlalu dipikirkan selama rakyat diberi candu-candu kata-kata revolusioner. Dimana kejayaan lebih diutamakan daripada kesejahteraan. Hal ini sangatlah berbeda saat ini dimana kejayaan haruslah seimbang dengan kesejahteraan rakyatnya.


Sudah saatnya kita menanggapi isu perang dengan kepala dingin, masih banyak cara yang dapat dilakukan oleh Indonesia melalui cara-cara lain, salah satunya diplomasi. Perang hanyalah membawa mudarat, tidak membawa manfaat. Masih banyak prosedur yang dapat digunakan melalui organisasi internasional, dan masih banyak cara untuk memperbaiki kesalahan. Kita dapat menggunakan semua prosedur itu semua berdasarkan hukum, sehingga kita dapat tergolong sebagai negara-negara yang beradab. Namun jika memang sudah tidak ada yang dapat kita lakukan, perang juga bukanlah opsi yang buruk. Perang sebagai ultimum remedium(upaya terakhir).

Banyak orang-orang pintar di negeri ini. Anda salah satunya! Jika yang terdidik saja mudah untuk diprovokasi, bagaimana dengan yang tidak?


(Pindahan tulisan dari notes Facebook)