Ini bukan tulisan saya. Tulisan ini saya muat hanya untuk mengingatkan saya selalu karakter apa saja yang harus saya bangun ataupun perbaharui demi tercapainya karakter saya yang kuat di masa depan.
Akbarecht
-------------------------------
Diplomat Otentik dan Analis Symbolik: Bekerja dengan Nurani
“Character isn’t something you were born with and can’t change, like
your fingerprints, it’s something you weren’t born with and must take
responsibility for forming” (Jim Rohn).
Demikian benang merah yang disimpulkan oleh Direktur Keamanan
Diplomatik, Kristanyo Hardojo pada kegiatan Sarasehan Pembentukan Watak
dan Profesionalisme dengan tema, “Penguatan Watak dan Profesionalisme
Pejabat Dinas Luar Negeri (PDLN) sebagai Aset Diplomasi”, di Bandung
pada tanggal 7-9 November 2011. Sarasehan dihadiri sekitar 60 orang
peserta dari berbagai satuan kerja di Kementerian Luar Negeri RI.
Sarasehan ditujukan sebagai salah satu sarana pembinaan watak dan
profesionalisme, terutama kepada para diplomat yang akan ditugaskan di
perwakilan – perwakilan RI di luar negeri. Harapannya, agar Diplomat
Indonesia memiliki watak, mental, budi pekerti yang luhur sesuai dengan
kebudayaan Indonesia, dan dapat melaksanakan misinya secara tegas, lugas
dan profesional.
Dalam kegiatan itu hadir sebagai narasumber: Sukardi Rinakit, Ph.D,
Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS); Prof. Dr. Sarlito
Wirawan Sarwono, Guru Besar dan Pakar Psikolog Universitas Indonesia;
Budiarto Shambazy, editor senior Harian Kompas; Dr. Al. Andang L.
Binawan, SJ. pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya, Jakarta; dan
Duta Besar Yuli Mumpuni Widarso, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan.
Dirjen IDP, A. M. Fachir menyampaikan pandangan dan harapannya terhadap
diplomat Indonesia agar memiliki kesadaran, semangat dan energi untuk
selalu melakukan perubahan sesuai dengan wewenangnya. Menurutnya,
seorang diplomat harus kreatif, mampu berinovasi dan memiliki wawasan
luas serta selalu bekerja beyond expectation, bukan hanya rutinitas.
Pilihan menjadi seorang diplomat sekaligus PNS memiliki konsekuensi
tersendiri: “Diplomat bukan pedagang yang mencari kekayaan, tetapi
diplomat dapat menjadi “kaya” dengan memberi manfaat kepada orang lain.
Untuk itu, diplomat perlu bekerja dengan hati nurani dan ikhlas,”
tegasnya.
Dubes Yuli Mumpuni dengan latar belakang pemahaman yang dalam tentang
sejarah diplomasi dan teori-teori tentang bagaimana seorang diplomat
yang baik, metantang para peserta sarasehan untuk dapat memenuhi
karakteristik seorang diplomat profesional, yang: “...Coodinator,
Solution Seeker, Citizen Protector, Negotiator, Intelligence Analyst,
Lobbyist, Opportunity Seeker, Image Builder, Reporter, Mediator,
Representative, and Promotor”
Tidak kalah menariknya, para narasumber menyampaikan berbagai paparan
yang mampu menyegarkan kembali berbagai dimensi sifat, watak dan
karakter yang patut dimiliki maupun dihindari oleh seorang Diplomat
Indonesia. Sukardi Rinakit mengharapkan Diplomat Indonesia mampu
menjadi “diplomat otentik”, atau diplomat yang selalu sepenuh hati
melaksanakan diplomasi dan memenangkan negosiasi tanpa mempermalukan
pihak lawan, atau dalam istilah bahasa Jawa dikenal “menang tanpa
ngasorake” (menang tanpa mempermalukan lawan) dan memiliki etos “ngemong
praja” (menjaga kehormatan pemerintah dan negara). Untuk mencapai dua
hal tersebut, diperlukan penguasaan budaya dan pemahaman alam bawah
sadar (subconciousness) masyarakat negara akreditasi.
Sementara itu, psikolog ternama Prof. Sarlito W. Sarwono mengulas
perlunya Diplomat Indonesia memiliki kepercayaan diri yang tinggi,
meningkatkan pengetahuan dan berwawasan luas, guna menjawab berbagai
persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia secara komprehensif. Budiarto
Shambazy, seorang lulusan Hawaii University, mengungkapkan bahwa
Diplomat Indonesia harus menjadi manusia analis-simbolik yang mampu
memecahkan masalah (problem-solver), teliti dan jeli
(problem-identifier), memiliki daya pikir yang terlatih, skeptis (serba
ingin tahu), dan kreatif. Menurutnya, dalam membentuk manusia
analis-simbolik diperlukan proses panjang dan sistem pendidikan yang
memadai, paling tidak setara dengan Amerika. Lebih dari itu diperlukan
kemauan siap berkorban, proses pencerahan, dan elemen-elemen demokrasi.
Sementara itu Andang Binawan, melengkapi acara sarasehan dengan
menyatakan “Untuk menciptakan diplomat yang handal perlu diperhatikan
proses pembinaan pribadi maupun struktural secara utuh. Jika setengah
hati atau setengah proses karena mengikuti ‘ritus’ pembinaan, maka yang
akan muncul hanyalah diplomat-diplomat medioker. Saat ini Indonesia
masih menjadi negara medioker, namun diplomatnya bukanlah diplomat
medioker”.
Watak dan karakter seorang Diplomat, memang tak luput dari pengalaman,
lingkungan dan kebudayaan yang membentuknya. Namun, lebih dari itu,
unsur yang tidak kalah pentingnya adalah diri manusia itu sendiri.(fa).
(Sumber : Direktorat Kamdip)
--tabloid Diplomasi-