Tuesday, December 20, 2011

Diplomat Otentik dan Analis Symbolik: Bekerja dengan Nurani

Ini bukan tulisan saya. Tulisan ini saya muat hanya untuk mengingatkan saya selalu karakter apa saja yang harus saya bangun ataupun perbaharui demi tercapainya karakter saya yang kuat di masa depan.
Akbarecht
 
-------------------------------
 
Diplomat Otentik dan Analis Symbolik: Bekerja dengan Nurani
 
“Character isn’t something you were born with and can’t change, like your fingerprints, it’s something you weren’t born with and must take responsibility for forming” (Jim Rohn).
Demikian benang merah yang disimpulkan oleh Direktur Keamanan Diplomatik, Kristanyo Hardojo pada kegiatan Sarasehan Pembentukan Watak dan Profesionalisme dengan tema, “Penguatan Watak dan Profesionalisme Pejabat Dinas Luar Negeri (PDLN) sebagai Aset Diplomasi”, di Bandung pada tanggal 7-9 November 2011. Sarasehan dihadiri sekitar  60 orang peserta dari berbagai satuan kerja di Kementerian Luar Negeri RI.
 
Sarasehan ditujukan sebagai salah satu sarana pembinaan watak dan profesionalisme, terutama kepada para diplomat yang akan ditugaskan di perwakilan – perwakilan RI di luar negeri. Harapannya, agar Diplomat Indonesia memiliki watak, mental, budi pekerti yang luhur sesuai dengan kebudayaan Indonesia, dan dapat melaksanakan misinya secara tegas, lugas dan profesional. 
 
Dalam kegiatan itu hadir sebagai narasumber: Sukardi Rinakit, Ph.D, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS); Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar dan Pakar Psikolog Universitas Indonesia; Budiarto Shambazy, editor senior Harian Kompas; Dr. Al. Andang L. Binawan, SJ. pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya, Jakarta; dan Duta Besar Yuli Mumpuni Widarso, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Dirjen IDP, A. M. Fachir menyampaikan pandangan dan harapannya terhadap diplomat Indonesia agar memiliki kesadaran, semangat dan energi untuk selalu melakukan perubahan sesuai dengan wewenangnya. Menurutnya, seorang diplomat harus kreatif, mampu berinovasi dan memiliki wawasan luas serta selalu bekerja beyond expectation, bukan hanya rutinitas. Pilihan menjadi seorang diplomat sekaligus PNS memiliki konsekuensi tersendiri: “Diplomat bukan pedagang yang mencari kekayaan, tetapi diplomat dapat menjadi “kaya” dengan memberi manfaat kepada orang lain. Untuk itu, diplomat perlu bekerja dengan hati nurani dan ikhlas,” tegasnya. 
 
Dubes Yuli Mumpuni dengan latar belakang pemahaman yang dalam tentang sejarah diplomasi dan teori-teori tentang bagaimana seorang diplomat yang baik, metantang para peserta sarasehan untuk dapat memenuhi karakteristik seorang diplomat profesional, yang: “...Coodinator, Solution Seeker, Citizen Protector, Negotiator, Intelligence Analyst, Lobbyist, Opportunity Seeker, Image Builder, Reporter, Mediator, Representative, and Promotor”
Tidak kalah menariknya, para narasumber menyampaikan berbagai paparan yang mampu menyegarkan kembali berbagai dimensi sifat, watak dan karakter yang patut dimiliki maupun dihindari oleh seorang Diplomat Indonesia. Sukardi Rinakit  mengharapkan Diplomat Indonesia mampu menjadi “diplomat otentik”, atau diplomat yang selalu sepenuh hati melaksanakan diplomasi dan memenangkan negosiasi tanpa mempermalukan pihak lawan, atau dalam istilah bahasa Jawa dikenal  “menang tanpa ngasorake” (menang tanpa mempermalukan lawan) dan memiliki etos “ngemong praja” (menjaga kehormatan pemerintah dan negara). Untuk mencapai dua hal tersebut, diperlukan penguasaan budaya dan  pemahaman alam bawah sadar (subconciousness) masyarakat negara akreditasi.
 
Sementara itu, psikolog ternama Prof. Sarlito W. Sarwono mengulas perlunya  Diplomat Indonesia memiliki kepercayaan diri yang tinggi, meningkatkan pengetahuan dan berwawasan luas, guna menjawab berbagai persoalan yang dihadapi  bangsa Indonesia secara komprehensif. Budiarto Shambazy, seorang lulusan Hawaii University, mengungkapkan bahwa Diplomat Indonesia harus menjadi manusia analis-simbolik yang mampu memecahkan masalah (problem-solver), teliti dan jeli (problem-identifier), memiliki daya pikir yang terlatih, skeptis (serba ingin tahu), dan kreatif. Menurutnya, dalam membentuk manusia analis-simbolik diperlukan proses panjang dan sistem pendidikan yang memadai, paling tidak setara dengan Amerika. Lebih dari itu diperlukan kemauan siap berkorban, proses pencerahan, dan elemen-elemen demokrasi. 
 
Sementara itu Andang Binawan, melengkapi acara sarasehan dengan menyatakan “Untuk menciptakan diplomat yang handal perlu diperhatikan proses pembinaan  pribadi maupun struktural secara utuh. Jika setengah hati atau setengah proses karena mengikuti ‘ritus’ pembinaan, maka yang akan muncul hanyalah diplomat-diplomat medioker. Saat ini Indonesia masih menjadi negara medioker, namun  diplomatnya bukanlah diplomat medioker”.
 
Watak dan karakter seorang Diplomat, memang tak luput dari pengalaman, lingkungan dan kebudayaan yang membentuknya. Namun, lebih dari itu, unsur yang tidak kalah pentingnya adalah diri manusia itu sendiri.(fa). (Sumber : Direktorat Kamdip)
 
--tabloid Diplomasi-