Ini merupakan tulisan saya
setelah beberapa saat vakum menulis. Entah kenapa belakangan ini diri ini
terlalu tidak produktif, banyak pikiran-pikiran yang tidak seharusnya
dipikirkan dengan proporsi yang cukup besar sehingga menguras energi padahal
masih banyak hal lain yang memerlukan perhatian lebih. Baik, tidak untuk
bercerita lebih jauh tentang konflik batin saya, mari kita mulai saja tulisan
perdana setelah lama ini. Tulisan kali ini mengangkat tema tentang “kontribusi”.
Kenapa kontribusi? Karena “kontribusi”
ini memiliki banyak makna dalam penerapannya. Seseorang bisa menggunakan kata
ini dalam berbagai bidang. Seseorang yang bermain sepakbola misalnya bisa saja
mengecap bahwa dirinya sudah cukup berkontribusi dengan mencetak satu gol.
Sedangkan di sisi lain, pemain lainnya menganggap dirinya telah berkontribusi
dengan memberikan 3 buah assist dalam pertandingan tersebut. Sungguh kata “kontribusi”
ini memiliki banyak makna tergantung siapa yang memaknainya. Sungguh pikiran
subjektif. Demikian juga dengan penulis memaknai kata “kontribusi” ini tidak
terlepas dari pikiran subjektif penulis.
Sejak dahulu sejak jaman kuliah,
penulis selalu berpendapat bahwa “kontribusi” adalah sesuatu yang seharusnya tidak
dirasakan oleh suatu entitas kecil saja, melainkan entitas yang lebih besar.
Dalam pikiran ini, penulis menganggap bahwa kontribusi sejatinya dirasakan oleh
masyarakat sebagai entitas yang lebih besar, bukan hanya diri pribadi ataupun
segilintir orang atau perusahaan. Jika meminjam istilah seorang tokoh, saya
lupa jika bukan Obama, “for the greater good!”. Hal itulah kira-kira yang
mendasari penulis dalam kesehariannya, bahkan dalam memilih suatu pekerjaan.
Mungkin sebagian orang berpikir bahwa pikiran ini merupakan suatu denial atas
kondisi yang dialami oleh penulis yang tidak mendapatkan pekerjaan dengan
bayaran yang cukup memuaskan. Penulis tidak menyalahkan karena penulis pernah
memiliki pikiran yang sama terhadap suatu kumpulan orang yang menamakan dirinya
sebagai “komunitas anti kemapanan” atau “gerakan anti kemapanan” dan
sebagainya. Dalam pandangan penulis, hal tersebut bisa saja karena memang
orang-orang tersebut mengalami suatu denial terhadap kondisi hidupnya yang
tidak bisa beranjak menuju tahap mapan. Dan penulis akan melakukan revisi
pemikiran seandainya gerakan anti kemapanan tersebut digandrungi oleh
orang-orang yang benar-benar mapan.
Kembali ke persoalan kontribusi
dan memilih pekerjaan, akhirnya memang diri penulis tidak bisa terlepas atas
definisi “kontribusi” yang penulis maknai. Beberapa contoh yang penulis lakukan
adalah dengan melepas berbagai kesempatan yang mungkin orang berpikir sungguh sayang
untuk dilepaskan. Beruntung penulis memiliki orang-orang yang tangguh dan
percaya atas apa yang ingin dilakukan oleh penulis dalam hidupnya.
Seperti saja contohnya adalah
penulis meninggalkan suatu posisi yang jika trendnya saat ini dikatakan sebagai
“comfort zone”. Penulis beranggapan bahwa jika tetap berada di zona tersebut,
maka penulis tidak akan berkembang, dan justru mematikan potensi diri penulis
meskipun bayaran cukup memuaskan. Namun karena memang ada sesuatu yang penulis
anggap masih kurang bermakna dalam penerapan “kontribusi” ini maka penulis
pergi meninggalkannya.
Begitu juga belakangan ini, saat
penulis ditawari suatu pekerjaan dengan bayaran yang cukup memuaskan, namun
penulis justru merekomendasikan ke teman penulis karena memang penulis rasa
akan mematikan potensi penulis. Memang semua itu subjektif. Namun demikian,
penulis melakukan semua itu tidak tanpa alasan. Mungkin seseorang yang mengerti
teori behavioral dan mengikuti kegiatan penulis dari sejak kecil sampai
pergulatan pikiran di bangku kuliah sajalah yang akan memiliki analisa yang
mendekati behavior penulis. Dikatakan mendekati karena yang mengetahui sempurna
dibalik itu semua hanya penulis dan tuhan.
Kembali kepada perihal kontribusi
seharusnya dirasakan oleh masyarakat, mungkin sebagian bertanya kembali,
masyarakat yang mana? keseluruhan ataukah sebagian golongan masyarakat? Dalam
menjawab ini, penulis memiliki strategi yang cukup baik. Penulis selalu
beranggapan bahwa tidak apalah hanya segolongan masyarakat saja terlebih
dahulu, namun kemudian itu semua harus dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan yang lain, tetapi sebenarnya ada
bedanya. Pengkonsepan “for the greater good”, ada tujuan akhirnya yang
membedakannya. Sebagian orang hanya selesai pada fase “segolongan” bahkan “dirinya”,
padahal ada akhirnya, yaitu “keseluruhan”.
...........................