Friday, October 21, 2011

Teater Koma Dalam Antigoneo

Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan untuk melihat salah satu karya teater yang dibawakan oleh teater koma dalam karyanya yang ke-124. Karya ini diberi nama Antigoneo.

Antigoneo sendiri naskah aslinya merupakan karya Sophocles dengan judul asli Antigone. Naskah ini telah dimainkan sejak jaman Yunani Kuno. Kemudian, naskah yang sarat akan makna universal ini kemudian disadur oleh seorang Evald Flisar dalam karyanya yang berjudul Antigone now. Dan karyanya inilah yang kemudian disadur kembali menjadi Antigoneo.

Cerita ini berkisah mengenai kegigihan seorang wanita, seorang kakak yang begitu mencintai adiknya, yang telah meninggal dan terkubur di sebuah pemakaman tua. Pemakaman tua ini menjadi disorot oleh beberapa media massa terkait rencana pemindahannya ke tempat lain karena adanya keinginan suatu resort hotel untuk membangun fasilitas-fasilitas di atasnya. Namun di balik semua itu, ada satu orang wanita tersebut yang bernama klara, dengan gigih tetap menolak rencana tersebut dengan alasan-alasan yang tidak logis, dan lebih terdengar puitis. Kegigihannya tersebut membuat bingung pamannya, yang tidak lain adalah walikota di daerah tersebut karena sudah berjanji pada masa kampanyenya untuk meningkatkan perekonomian, menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Rakyatnya pun telah banyak yang mulai menanamkan saham di fasilitas hotel tersebut. Alkisah, akhirnya dengan berbagai cara, sang paman berusaha menyingkirkan keponakannya itu, bahkan dengan mengatakan ponakannya tersebut mengalami gangguan kejiwaan. Cerita diakhiri dengan meninggalnya klara karena bunuh diri lompat dari jendela kamar rumah sakit jiwa.

Cerita ini menurut saya sungguh menarik. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa tidak menarik, tetapi bagi saya yang selalu berusaha mengetahui apa dibalik itu semua menangkap berbagai pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara ataupun mungkin sang penulis naskah itu sendiri.

Ada suatu perdebatan, gejolak batin yang ingin diperlihatkan. Dari lakon ini juga diperlihatkan dimana terjadi perbedaan antara penggunaan pemikiran logis dan dengan hanya menggunakan hati. Alasan yang disampaikan oleh pamannya sangat logis, tetapi alasan yang disampaikan oleh klara sangat puitis dan magis, bahkan bisa dibilang sangat ingin menguji, apakah kita masih punya hati?

Tata panggungnya walau minim hanya menggunakan satu panggung, tetapi sangat kaya akan simbol-simbol. Panggung didesain sangat detail. Ada simbol dewi-dewi yunani di atasnya. Selain itu, walau sangat minim, tetapi panggung tersebut sangat luar biasa karena para pemain bisa secara kaya melakukan improvisasi dan menggunakan semua fasilitas yang ada di atasnya.

Untuk komposisi lagu, lagu hanya dimainkan secara solo yang menggambarkan seorang gipsy dengan dua pengikutnya dengan hanya satu alat musik. Namun demikian, itu semua dapat mewakili keheningan yang timbul dari itu semua. Walaupun di akhir pertunjukan diselingi lagu ave maria yang terkenal karya schubert.

Untuk pemain, kekuatan pertunjukan kali ini memang di aktingnya. Klara sangat mengagumkan. begitu juga pemain lainnya.

Pencahayaan juga baik.

Di samping itu, kesan yang di keluarkan lewat kata-kata sekali lagi menjadi istimewa karena setiap pertunjukan teater koma ini ada saja kata yang tetap berbekas seperti halnya

"Maybe we are here not to understand each other, but to play our own role until the end and later say good bye" by Klara.


Akbarecht