Pada tanggal 25 Juli 2011 yang lalu, pemerintah Australia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Imigrasi, Chris Bowen dan Pemerintah Malaysia yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri Hishammuddin Hussein telah menyepakati suatu “paket” kesepakatan pertukaran pengungsi (refugee swap deal) yang telah ditandatangani di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam “paket” ini, disepakati bahwa Malaysia akan menerima kembali 800 pencari suaka yang memasuki wilayah perairan Australia secara illegal menggunakan kapal boat, dan sebaliknya, Australia akan menerima sebanyak 4.000 orang pengungsi yang saat ini terdapat di Malaysia untuk ditempatkan di Australia secara bertahap selama 4 tahun. Dalam “paket” ini juga dikatakan bahwa mereka yang dikirim kembali ke Malaysia akan mendapatkan hak untuk bekerja serta hak atas kesehatan dan pendidikan. Pengiriman kembali ini mulai berlaku terhadap pencari suaka sejak kesepakatan tersebut ditandatangani.
Sebagai hasil dari kesepakatan ini, beberapa hari yang lalu, Australia kedatangan 54 orang pencari suaka, dan melalui mekanisme ini, maka semua pencari suaka tersebut akan mulai untuk dikirimkan kembali ke Malaysia dengan menggunakan pesawat terbang dan akan berdiri di antrian paling belakang dalam proses penentuan status pengungsi di Malaysia. Pihak Australia telah berniat akan membuat film pendek mengenai hal ini dan akan di tampilkan di situs youtube sebagai salah satu cara untuk memerangi penyelundupan manusia di kawasan ini.
Persoalan pencari suaka dengan tujuan akhir Australia bukanlah fenomena baru di kawasan ini. UNHCR Indonesia mencatat, tahun lalu ada sekitar lebih dari 3.000 orang pencari suaka yang mendaftarkan diri untuk kemudian dicarikan solusi terbaiknya. Namun demikian, memang tidak semua mereka adalah murni orang-orang yang mencari pengungsian karena alasan dalam konvensi pengungsi, yaitu dikarenakan adanya ketakutan yang sangat akan persekusi atas alasan race, religion, nationality, membership in particular social group, or political opinion. Hampir sebagian besar merupakan mereka yang ingin mencari penghidupan yang lebih layak atau bisa dikatakan sebagai economic migrant. Hal inilah yang kemudian menjadi sulit dibedakan pada saat ternyata alasan mereka meninggalkan Negara asalnya adalah karena alasan ekonomi tersebut bercampur dengan alasan yang disebutkan di dalam konvensi. Indonesia sendiri sebagai Negara yang bertetangga dengan Australia merupakan Negara favorit tempat transit bagi para pencari suaka ini, karena untuk mereka bisa menuju Australia, mau tidak mau mereka harus melewati Indonesia yang notabene wilayahnya 70% adalah lautan.
Isu pencari suaka yang juga isu keimigrasian di Australia ini sendiri merupakan isu politik yang sangat “seksi”. Hal ini terkait dengan pemilihan pemerintahan di negera tersebut. Seorang kandidat akan sangat dilihat pemikirannya mengenai isu imigrasi sebelum untuk kemudian dipilih oleh warganya. Dari sekian banyak perdana menteri, mantan perdana menteri Kevin Rudd lah salah satu yang dinilai memiliki kebijakan imigrasi yang sangat lunak.
Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia merupakan Negara yang belum melakukan ratifikasi terhadap konvensi pengungsi. Perihal isu kepengungsian selama ini dihadapi dengan aturan dari keimigrasian, dan terkesan tidak mau tahu dengan isu lainnya. Mereka yang masuk ke Indonesia tanpa dokumen yang sah dianggap sebagai illegal imigran. Namun demikian hal ini dikecualikan dengan mereka yang memiliki attestation letter dari UNHCR. Mereka tersebut tidak akan dideportasi oleh pihak imigrasi karena aturan imigrasi kita menghormati prinsip non-refoulement yang menyatakan bahwa tidak satupun pencari suaka ataupun pengungsi yang dapat dikembalikan ke Negara dimana dia merasa dirinya terancam akan adanya persekusi. Indonesia terkesan lepas tangan. Bahkan di berbagai kasus, seperti di kasus Oceanic Viking, pemerintah Indonesia seringkali mengharapkan UNHCR secepatnya menempatkan mereka ke Negara ketiga, yang mana apabila dianalisa, hal ini sungguh tidak mengungtungkan bagi Indonesia sendiri karena nantinya akan malah menjadi faktor penarik bagi mereka yang ingin ke Negara tujuan karena mereka menganggap bahwa proses ini sangat cepat dibandingkan dengan yang berada di negara lain seperti halnya Malaysia.
Dalam kasus perjanjian di atas, banyak kalangan seperti aktivis HAM menganggap bahwa hal ini tidak menyelesaikan masalah. Bagaimana tidak, proses penentuan pengungsi yang seharusnya dilakukan oleh Australia justru di lalaikan oleh mereka untuk kemudian dilakukan oleh negara lain. Selain itu, dipilihnya Malaysia dalam perjanjian ini justru sangat ditentang oleh para aktivis ini. Karena selain Malaysia bukanlah negara peratifikasi konvensi pengungsi layaknya Indonesia, mereka juga dalam hal perlakukan terhadap para imigran, terlebih lagi terhadap para pencari suaka dan pengungsi sangat tidak bersahabat. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya penolakan yang dilakukan oleh para warga asli yang ada di sana. Selain itu, menurut sebagian pengungsi, kesepakatan tersebut tidak akan menghentikan laju penyelundupan orang ilegal ke dalam Australia dengan menggunakan boat. Mereka menganggapnya hal ini tidak adil, karena bagaimana mungkin mereka yang sanggup membayar kepada para penyelundup untuk menaiki boat akan mendapatkan hak untuk bekerja, kesehatan, dan juga pendidikan yang mana mereka tidak dapatkan itu karena mereka secara tertib mengantri dan menunggu di Malaysia tanpa bepergian ke Australia. Hal ini sangat merugikan. Dan Indonesia sebagai negara yang seringkali di lewati harus lagi-lagi bersabar dan waspada karena hal ini akan meningkatkan volume penyelundupan orang via boat ke Australia dengan melewati perairan kita.
Usaha untuk menanggulangi ini sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Bali process merupakan salah satu forum yang sudah sejak dari awal 2000-an digerakkan dengan mempertemukan negara asal, negara transit, dan juga negara tujuan untuk bersama-sama membahas mengenai persoalan ini. Bahkan belakangan ini, pihak-pihak seperti IOM dan UNHCR juga telah diundang untuk didengar pendapatnya disamping beberapa negara observer lainnya. Telah banyak pula kesepakatan yang dihasilkan, tetapi hingga kini tidak mampu untuk mengurangi tindak "bisnis" penyelundupan ini. Semoga persoalan ini dalam waktu dekat akan bisa terselesaikan, dan persoalan tragedi kemanusiaan ini tidak diselesaikan dengan menciptakan "tragedi" kemanusian lainnya.
Akbarecht